Rabu, 15 Mei 2013

Kaca Mata yang Lain


Greatest thanks for kak Elfa Mayasari, sahabat yang jauh disana
Happy reading, chek this out! =)

“Fa, kamu mau pesen apa?” dia diam. “Elfa!” aku mengulangi, lebih keras.

“Iya May, ada apa?” dia menoleh, salah tingkah. Aku menghela nafas lagi, yang ke sebelas kalinya untuk tiga setengah jam terahir. Aku tidak melebih-lebihkan atau mengada-ada. Benar-benar yang ke sebelas dan aku menghitungnya dengan cermat.

 Tujuh  hari terakhir ini Elfa selalu begitu. Melamun, menerawang, susah diajak bicara, bengong, diam. Aku tak menyangkal kalau aku kesal, lelah, marah, jengkel, atau apalah. Bagaimana tidak, kau bicara panjang lebar hanya di jawab “uh?” atau bahkan tidak di respon. Sulit sekali untuk meneguhkan hatiku agar tidak berteriak di depan mukanya atau pergi dengan hentakan amarah.
      
Kalau saja aku tak tahu alasannya, aku sudah memaki-makinya sejak hari pertama. Namun, itu takkan pernah membantu. Aku mengerti Elfa, menjadi saksi hatinya yang dihancurkan, melihat sendiri saat pisau itu mengoyak hatinya, menyakiti jiwanya, merenggut senyumnya. Aku tau setiap detilnya.
            
Aku ada disana. Hari itu adalah hari ke empat puluh dua sejak pertemuan pertama Elfa dan Danis. Mereka berdua adalah sahabatku. Aku yang mempertemukan mereka. Elfa menyukainya saat pertama kali bertemu. Aku tahu, tanpa dia bercerita panjang lebar, aku hafal mati tatapan tulus itu, senyum manja itu.
            
“Fa, nggak tahu sejak kapan. Tapi aku suka kamu, aku suka senyum kamu. Aku suka semua tentang kamu. Aku mau hubungan kita lebih dari teman. Kamu mau jadi pacar aku?”
           
 Aku menoleh, terkejut. Mengamati bola mata laki-laki itu. Bohong! Tak ada bunga yang tergambar di sama, tak ada wajah tersipu ataupun kebahagiaan tulus. Tidak ada, sama sekali tidak. Elfa mengangguk pelan. Gadis bodoh yang malang. Kisah ini akan sedikit berbahaya, Elfa!
            
Aku tak pernah sampai hati mengatakan kebohongan cinta Danis. Sejak dia menangis haru detik itu juga. Aku tak pernah jujur atas apa yang aku lihat. Aku terlalu takut. Takut akan penolakan, takut kenyataan itu akan merobek kebahagiaan Elfa, gadis yang selalu ku jaga, dia sahabatku. Jadi kuputuskan, biar Gadis itu yang menanam benihnya, menyemai tunasnya, memupuknya dengan rajin, sampai tumbuh menjadi pohon perasaan yang lebat.
Mereka tak pernah tahu aku selalu menjadi saksi potongan kisah mereka. Tak pernah absen untuk menyaksikan.
            
Minggu-minggu pertama semua baik-baik saja. Seperti pasangan baru lainnya. Romantis, bergandengan tangan kesana kemari, tertawa, bercanda. Tapi semua tetap masih samar jika dilihat dengan kacamata yang berbeda. Tak ada cahaya itu di mata Danis. Cahaya itu hanya bertengger di mata Elfa. Sangat terang.

“Kamu dari mana saja Danis? Kok lama banget?” Elfa berdiri membersihkan bajunya ketika Danis menjemputnya sepulang sekolah. Terlambat setengah jam dari biasanya. Ini adalah minggu ke delapan.  
           
 “Nggak dari mana-mana, sayang. Tadi motornya agak bermasalah.” Jawab Danis dengan manis sekali. Elfa tersenyum
            
“Kamu sudah makan?” Elfa menyodorkan sebotol air mineral, mengelap keringat di kening Danis.
           
 “Udah. Kamu belum makan?” Elfa menggeleng kecewa. Bagaimana mungkin gadis itu akan makan siang? Dia menunggu untuk makan berdua dengan Danis. Makan siang Nasi goreng buatannya.
        
 “Kamu kan bukan anak kecil, Elfa. Masa iya aku harus ngingetin kamu makan” Elfa sedikit terperanjat atas jawaban Danis. Tapi dia menutupinya dengan seulas senyum manis. Mengangguk.
           
 “Ayuk pulang!” Danis menghidupkan lagi motornya, memutar gas saat Elfa duduk di di belakangnya. Aku menjadi saksi, mata yang berkaca-kaca dan bibir tersenyum itu.
            
Sesampainya di rumah Elfa dia mempersilahkan Danis masuk. Danis menggeleng sopan, ada urusan. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan.
           
Malamnya, dengan perasaan gelisah luar biasa, Elfa mencoba menghubungi Danis. Mengirimnya Pesan singkat, bbm, berkali-kali menelefon. Tidak ada jawaban, tidak ada balasan. Gadis itu tetap sabar. Berkali-kali menguatkan matanya agar tidak terpejam. Menunggu balasan. Sungguh, gadis itu terlalu sabar.
           
Pukul setengah dua belas malam. Layar ponsel Elfa berkedip-kedip dan mengeluarkan dentingan. Dengan senyum lebar, buru-buru ia membukanya. “Elfa berisik. Ganggu bgt” empat kata, menggores pelan hati gadi itu. Elfa hendak membalasnya dengan kata maaf. Urung, dia lebih memilih membujuk matanya untuk tidur, menenggelamkan rasa sakitnya dalam mimpi yang indah, berharap esok pagi ia akan terbangun dengan seulas senyum. Hati bersih yang telah terobati.
            
Satu hari lagi telah berakhir. Berganti hari baru, semangat baru, kisah baru, janji kehidupan baru. Aku dan Elfa duduk di bangku taman kampus, menyesap secangkir creamy cappucino, menikmati setiap nyanyian yang dinyanyikan pohon-pohon dan burung-burung.
Laki-laki itu datang.

“Fa, maaf ya. Tadi malem aku lagi bete banget. Maaf aku ketus.” Danis menghampiri bangku kami berdua. Elfa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tersenyum.

“Nggak, papa. Aku udah maafin, kok,” satu senyum lagi. Senyum sangat tulus.

“Aku tetep nggak enak, Fa. Kamu Cuma kuliah sampai jam dua kan? Kita ketemuan disini ya, jam dua. Aku akan menebus salah aku, Fa”senyum Elfa melebar. Hatinya melonjak. Mengangguk riang.

“Oke, aku masuk dulu, ya. Dah, Maya!” Danis melambaikan tangan ke arah kami. Aku tersenyum tipis.

“Maya, akhirnya dia ngajak jalan lagi!” Elfa mengguncang tanganku.

“Elfaa, aku denger, kalik!” kucubit pipinya dengan gemas.

“Sakit, Mayaa! Masuk yuk!” aku menggandengnya, berjalan beriringan dengannya.

Bagaimana mungkin, Elfa kau tak melihatnya? Aku menggenggam tangannya lebih erat. Berharap bisa menjaga  hatinya. Berharap semua akan baik-baik saja. Biarkan aku bisa melihat senyum bahagia itu di wajahnya.  Biarkan aku selalu mendapat semangat dari sinar yang selalu terbit di matanya itu.

Jam perak yang melingkar di tangan kiri Elfa telah menunjukkan setengah jam lebihnya dari jam dua. Baru terlambat setengah jam. Aku memainkan setangkai dandelion di tangan kiriku, dengan tangan kanan jail mencubit-cubil tangan kiri Elfa.

“Maya apaan sih?” Elfa sewot menggembungkan pipinya. Aku tertawa.

“Makan yuk, Fa! Udah jam setengah tiga ini!”

“Makan lah, May. Nanti kalau Danis ngajak makan siang dan aku udah makan kan nggak lucu”

“Yaudah, tar makan lagi. Kan perut kamu bisa melar gitu!”

“Maya ih bercanda terus!”

“Ayo Fa, makan!”

“Mayaaaa!”

“Appan sih, Fa?” dia menyerah. Diam.

Aku juga diam, mengamati gadis itu. Sebentar-sebentar mengecek ponsel, menggerak-gerakkan kaki dengan gelisah, menghela nafas, menguap. Setengah jam berlalu, satu jam, dua jam. Setengah empat!

“Fa, udah setengah empat. Dia nggak dateng, mungkin lupa. Ayo kita pulang!” aku menggenggam tangannya.

“Dia pasti dateng, May. Kamu pulang dulu aja. Nanti tante nyariin,” Elfa tersenyum mengangkat bahu.

Aku mengemasi barang-barangku. Pamit, tapi tak pernah benar-benar pergi. Aku selalu tau ceritanya tanpa Elfa mengatakannya. Paham betul setiap detilnya. Meskipun antara Danis maupun Elfa tak ada yang menyangka aku tau lebih dari apa yang mereka ingin aku tahu.
Hari sudah gelap. Gadis itu masih duduk disana. Sangat sabar menunggu kabar baik itu datang. Tapi rencana Tuhan tak begitu, tak seperti apa yang ia inginkan. Denis tak pernah datang.

Elfa berdiri dari tempat duduknya saat waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Berjalan lemah, cemberut sepanjang jalan. Aku tau dia tak akan pulang, dia tak menyerah begitu saja. Langkah kakinya membawa tubuhnya ke rumah Danis.

Dia menunggu di sana, di depan gerbang yang tertutup. Mendekap tubuhnya yang mulai kedinginan. Menatap nanar layar ponselnya. Sesekali mengirimi pesan singkat. Tak bosan, masih tetap luar biasa sabar. Aku menurunkan kaca mobil, menjaganya dari jauh.

Jam setengah delapan, Elfa membeli dua bungkus nasi Goreng. Berharap makan malam akan menggantikan kisah yang hilang. Lalu duduk lagi, menanti dengan teramat sabar.

Tepat pukul delapan. Sebuah mobil putih merayap dan turun di depan gerbang rumah Danis. Elfa mulai bersemangat kembali. Sayangnya, kenyataan yang ada lebih menyakitkan, lebih perih, Danis memang pulang. Tapi dia tidak sendiri, dia bersama Melissa.

“Elfa, ngapain kamu disini?” Dani menaikkan sebelah alisnya. “Eh, ini Melissa, mantan aku,” dia melanjutkan. “Lis, ini Elfa pacar aku.” Tanpa rasa bersalah Danis mengenalkan keduanya.

“Aku pulang ya, Danis” Lissa memegang kemudi lagi. Menginjak gas, pergi, berlalu.

“Ada apa, Fa?” Danis bertanya lagi.

“Aku bawain nasi goreng buat kamu,” suaranya bergetar.

“Kamu makan aja, Fa. Aku udah makan tadi. Aku masuk ya, capek banget. Kamu mau masuk?” Elfa menggeleng. Ada sebuah bendungan dimatanya. Danis pergi, berlalu, tanpa perduli lagi.

Lepas sudah, air mata yang ia tahan mengalir begitu saja. Secuil kendali diri yang ia bangun kini hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, sungguh aku pernah tahu rasa itu, dan sungguh Kau tak pernah salah menuliskan takdir. Bukakan segera bagian indah yang Kau janjikan itu, Tuhan. Gadis yang teramat sabar itu terluka.

Aku mengemudikan mobilku mendekati rumah Danis. Kini tiba bagianku. Aku akan ambil peran, berpura-pura kebetulan lewat.

“Elfa, kamu ngapain disini? Kamu belum pulang?” aku turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Membujuk hatiku agar tak ikut menangis. Aku nggak nyangka Denis, kamu melukai gadis berhati lembut ini.

“Ayo kita pulang. Kamu tidur di rumah aku aja ya. Takut ganggu anak kos lain kalau kamu pulang jam segini,” Elfa memang tinggal di kos-kosan. Jauh dari orang tuanya. Maka dari itu aku yang selalu berusaha menggantikan peran keluarga, meski tak pernah sama, atau bahkan mendekati.

Dia tak menolak sedikitpun. Hanya menatap kosong keluar jendela. tak bicara apapun. Tidak juga menangis. Tapi lebih dari itu. Sebuah sakit yang bahkan tak cukup hanya digambarkan dengan air mata.

Sesampainya di rumah, mama menyiapkan air hangat. Aku menyajikan makanan, membujuknya makan. Tak ada yang bertanya apa yang terjadi, kami semua tau, dia akan bercerita jika waktunya tiba. Setelah mandi dan makan Elfa meringkuk di tempat tidur, mencoba menenggelamkan rasa sakit di rongga dadanya ke dalam mimpi yang indah, berharap esok pagi ia akan terbangun dengan seulas senyum. Hati bersih yang telah terobati.

Dilihat dari kaca mata siapapun, tak perduli kaca mataku, kaca mata kalian, bahkan kacamata Tuhan. Elfa adalah gadis yang luar biasa. Pagi harinya dia bangun sudah riang kembali, sudah ceria, menggulingkanku sampai jatuh dan terbangun, menyapa mama, membatu memasak, dan menyiapkan nasi goreng untuk Danis.

Aku memang selalu tahu kisah lengkapnya, selalu tahu detil ceritanya. Tapi aku tak pernah masuk ke dalam hatinya, aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan dalam semalam, apa yang ia putuskan, aku tak pernah tahu.

“May, nanti temenin aku ke fakultas Danis ya. Nganterin ini,” ucapnya di sela-sela sarapan. Aku hanya tersenyum, mengangguk.
***

Tuhan, sungguh, Kau yang mengatur semua ini. Kau yang paling tahu.

Mentari tepat berada di atas kepala.Elfa dengan gemas menarik tanganku. Mencari-cari sosok pujaan hatinya itu. Lima belas menit memutari lapangan di fakultas Denis. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Sampai sudut mataku mengangkap sosok Danis, tapi tidak sendiri. Bersama Melissa.

“I. . . tu, Danis kan?” terlambat. Elfa menghentikan langkahnya dan bertanya terbata. Aku mengangguk patah-patah.
           
 “Danis!” Elfa memanggilnya.
           
 “Elfa, ngapain kamu disini?” tanyanya, lagi-lagi mengerutkan dahi.
           
 “Aku bawa makan buat kamu, Danis,” pelan-pelan tangan Elfa bergerak mengulurkan box makanan yang ia bawa.
           
 “Pacar kamu norak banget sih, Danis!” Melissa menyibakkan rambutnya. Detik berikutnya Danis menyeret Elfa, aku melotot galak kearah Lissa.
            
“Kamu denger, kan Lissa bilang apa? Kamu itu norak, Fa. Bawain makan siang pake box makanan butut begitu, memangnya aku anak TK? dan aku mau kasih tau kamu, kamu itu nggak kaya mantan-mantan aku. Kamu itu nggak stylish, bawel lagi. Tiap menit sms, nelfon, aku capek, Fa! Coba kamu belajar dari Lissa. Dia cantik, nggak bawel, fleksibel, mudah bergau, dan yang pasti dia nggak norak kaya kamu!”
          
 Bagai petir yang menyambar, menyentuh bagian paling sensitive, menghujani pelangi tanpa ampun. Keceriaan itu, kesabaran itu, memang tak pernah ada batasnya, kita sendiri yang membangunnya. Aku berani bersaksi, Elfa membangun batas kesabaran itu lebih panjang dari yang aku bangun, dan Danis telas melampaui garis yang tak seharusnya ia sentuh.
            
“Udah bicaranya?” Elfa angkat bicara, lemah,  “Aku Cuma mau kamu tau, aku bukan mantan kamu. Kami semua berbeda. Kalau kamu lebih nyaman sama mereka, get them back, I give you freedom. Aku nggak akan jadi siapa-siapa kamu lagi” over.
           
 Pergi, dengan luka yang tak tergambar oleh apapun. Kami berdua meninggalkan Danis dan Lissa yang terdiam. Aku sangat ingin menampar dua mahkluk mengerikan itu. Tapi ini bukan bagianku, bukan tempatku, bukan hakku.
            
Aku melingkarkan lenganku ke lehernya, mencoba mengalirkan semangat, menyembuhkan luka yang sedang menganga di hatinya. Aku memang selalu tahu kisah lengkapnya, selalu tahu detil ceritanya. Tapi aku tak pernah masuk ke dalam hatinya, aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan, apa yang ia rasakan, seberapa dalam pisau itu melubangi hatinya, aku tak tahu pasti.
          
Disinilah kami, tujuh hari setelah kejadian itu, di caffe kampus. Elfa menangis hebat setelah kami sampai di mobil. Sampai hari ini dia belum mendapatkan keceriaannya lagi.
            
Aku tahu rasa sakit itu, aku pernah punya.
            
Kalau aku boleh menebak, pasti kalian akan memaki Danis. Laki-laki brengsek, tidak punya perasaan, kurang ajar, atau apalah sebagainya. Sebagian besar memang begitu. Sebagian besar, tapi bukan berarti kisah ini seluruhnya salah Danis. Aku tidak mencoba membela laki-laki itu, dia memang bersalah.
            
Dengan kaca mata biasa, pasti terlihat Danis yang salah. Telak, tanpa ampun. Tapi dengan sebuah kaca mata lain, pengertian yang lain, pemahaman lain. Elfa memiliki persen kesalahan disini, dia begitu mencintai Danis, teramat. Sehingga dia lupa memberi celah untuk Danis merasakan hal yang sama, menumbuhkan rasa yang sama. Karena sesungguhnya, perasaan itu tak mudah dimengerti, kadang harus melewati masa sulit dulu, baru hati yang akan berkata.
            
Seperti saat ini, dengan berakhirnya hubungan Danis dan elfa. Tujuh malam Danis tidak bisa tidur nyenyak. Berkali-kali melirik ponselnya, berharap ada pesan masuk, berharap mendapatkan omelan bawel. Setiap siang menunggu Elfa mengantarkan nasi goreng, rindu. Hatinya telah sempurna menerjemahkan rasa. Danis tau dia telah jatuh hati pada Elfa. Terlambat. Semua telah berakhir. Takdir mereka berdua memang menyakitkan.
            
Tak ada yang bisa ku lakukan, hanya mendampingi. Memberi pemahaman bahwa hidup harus berjalan. Berharap Tuhan segera membukakan bagian terbaik yang Ia janjikan.