Greatest
thanks for kak Elfa Mayasari, sahabat yang jauh disana
Happy
reading, chek this out! =)
“Fa,
kamu mau pesen apa?” dia diam. “Elfa!” aku mengulangi, lebih keras.
“Iya
May, ada apa?” dia menoleh, salah tingkah. Aku menghela nafas lagi, yang ke
sebelas kalinya untuk tiga setengah jam terahir. Aku tidak melebih-lebihkan atau mengada-ada. Benar-benar yang
ke sebelas dan aku menghitungnya dengan cermat.
Tujuh hari terakhir ini Elfa selalu begitu. Melamun, menerawang, susah
diajak bicara, bengong, diam. Aku tak menyangkal kalau aku kesal, lelah, marah,
jengkel, atau apalah. Bagaimana tidak, kau bicara panjang lebar hanya di jawab
“uh?” atau bahkan tidak di respon. Sulit sekali untuk meneguhkan hatiku agar
tidak berteriak di depan mukanya atau pergi dengan hentakan amarah.
Kalau saja aku tak tahu alasannya, aku sudah memaki-makinya sejak hari pertama.
Namun, itu takkan pernah membantu. Aku mengerti Elfa, menjadi saksi hatinya
yang dihancurkan, melihat sendiri saat pisau itu mengoyak hatinya, menyakiti
jiwanya, merenggut senyumnya. Aku tau setiap detilnya.
Aku ada disana. Hari itu adalah hari ke empat puluh dua sejak pertemuan pertama
Elfa dan Danis. Mereka berdua adalah sahabatku. Aku yang mempertemukan mereka.
Elfa menyukainya saat pertama kali bertemu. Aku tahu, tanpa dia bercerita
panjang lebar, aku hafal mati tatapan tulus itu, senyum manja itu.
“Fa, nggak tahu sejak kapan. Tapi aku suka kamu, aku suka senyum kamu. Aku suka
semua tentang kamu. Aku mau hubungan kita lebih dari teman. Kamu mau jadi pacar
aku?”
Aku menoleh, terkejut. Mengamati bola mata laki-laki itu. Bohong! Tak ada bunga
yang tergambar di sama, tak ada wajah tersipu ataupun kebahagiaan tulus. Tidak
ada, sama sekali tidak. Elfa mengangguk pelan. Gadis bodoh yang malang. Kisah
ini akan sedikit berbahaya, Elfa!
Aku tak pernah sampai hati mengatakan kebohongan cinta Danis. Sejak dia
menangis haru detik itu juga. Aku tak pernah jujur atas apa yang aku lihat. Aku
terlalu takut. Takut akan penolakan, takut kenyataan itu akan merobek
kebahagiaan Elfa, gadis yang selalu ku jaga, dia sahabatku. Jadi kuputuskan,
biar Gadis itu yang menanam benihnya, menyemai tunasnya, memupuknya dengan
rajin, sampai tumbuh menjadi pohon perasaan yang lebat.
Mereka
tak pernah tahu aku selalu menjadi saksi potongan kisah mereka. Tak pernah
absen untuk menyaksikan.
Minggu-minggu pertama semua baik-baik saja. Seperti pasangan baru lainnya.
Romantis, bergandengan tangan kesana kemari, tertawa, bercanda. Tapi semua
tetap masih samar jika dilihat dengan kacamata yang berbeda. Tak ada cahaya itu
di mata Danis. Cahaya itu hanya bertengger di mata Elfa. Sangat terang.
“Kamu
dari mana saja Danis? Kok lama banget?” Elfa berdiri membersihkan bajunya
ketika Danis menjemputnya sepulang sekolah. Terlambat setengah jam dari
biasanya. Ini adalah minggu ke delapan.
“Nggak dari mana-mana, sayang. Tadi motornya agak bermasalah.” Jawab Danis
dengan manis sekali. Elfa tersenyum
“Kamu sudah makan?” Elfa menyodorkan sebotol air mineral, mengelap keringat di
kening Danis.
“Udah. Kamu belum makan?” Elfa menggeleng kecewa. Bagaimana mungkin gadis itu
akan makan siang? Dia menunggu untuk makan berdua dengan Danis. Makan siang
Nasi goreng buatannya.
“Kamu kan bukan anak kecil, Elfa. Masa iya aku harus ngingetin kamu makan” Elfa
sedikit terperanjat atas jawaban Danis. Tapi dia menutupinya dengan seulas
senyum manis. Mengangguk.
“Ayuk pulang!” Danis menghidupkan lagi motornya, memutar gas saat Elfa duduk di
di belakangnya. Aku menjadi saksi,
mata yang berkaca-kaca dan bibir tersenyum itu.
Sesampainya di rumah Elfa dia mempersilahkan Danis masuk. Danis menggeleng
sopan, ada urusan. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan.
Malamnya, dengan perasaan gelisah luar biasa, Elfa mencoba menghubungi Danis.
Mengirimnya Pesan singkat, bbm, berkali-kali menelefon. Tidak ada jawaban,
tidak ada balasan. Gadis itu tetap sabar. Berkali-kali menguatkan matanya agar
tidak terpejam. Menunggu balasan. Sungguh, gadis itu terlalu sabar.
Pukul setengah dua belas malam. Layar ponsel Elfa berkedip-kedip dan
mengeluarkan dentingan. Dengan senyum lebar, buru-buru ia membukanya. “Elfa
berisik. Ganggu bgt” empat kata, menggores pelan hati gadi itu. Elfa hendak
membalasnya dengan kata maaf. Urung, dia lebih memilih membujuk matanya untuk
tidur, menenggelamkan rasa sakitnya dalam mimpi yang indah, berharap esok pagi
ia akan terbangun dengan seulas senyum. Hati bersih yang telah terobati.
Satu hari lagi telah berakhir. Berganti hari baru, semangat baru, kisah baru,
janji kehidupan baru. Aku dan Elfa duduk di bangku taman kampus, menyesap
secangkir creamy cappucino, menikmati setiap nyanyian yang dinyanyikan
pohon-pohon dan burung-burung.
Laki-laki
itu datang.
“Fa,
maaf ya. Tadi malem aku lagi bete banget. Maaf aku ketus.” Danis menghampiri
bangku kami berdua. Elfa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tersenyum.
“Nggak,
papa. Aku udah maafin, kok,”
satu senyum lagi. Senyum sangat tulus.
“Aku
tetep nggak enak, Fa. Kamu Cuma kuliah sampai jam dua kan? Kita ketemuan disini
ya, jam dua. Aku akan menebus salah aku, Fa”senyum Elfa melebar. Hatinya
melonjak. Mengangguk riang.
“Oke,
aku masuk dulu, ya. Dah, Maya!” Danis melambaikan tangan ke arah kami. Aku
tersenyum tipis.
“Maya,
akhirnya dia ngajak jalan lagi!” Elfa mengguncang tanganku.
“Elfaa,
aku denger, kalik!” kucubit pipinya dengan gemas.
“Sakit,
Mayaa! Masuk yuk!” aku menggandengnya, berjalan beriringan dengannya.
Bagaimana
mungkin, Elfa kau tak melihatnya? Aku menggenggam tangannya lebih erat.
Berharap bisa menjaga hatinya. Berharap semua akan baik-baik saja.
Biarkan aku bisa melihat senyum bahagia itu di wajahnya. Biarkan aku
selalu mendapat semangat dari sinar yang selalu terbit di matanya itu.
Jam
perak yang melingkar di tangan kiri Elfa telah menunjukkan setengah jam
lebihnya dari jam dua. Baru terlambat setengah jam. Aku memainkan setangkai
dandelion di tangan kiriku, dengan tangan kanan jail mencubit-cubil tangan kiri
Elfa.
“Maya
apaan sih?” Elfa sewot menggembungkan pipinya. Aku tertawa.
“Makan
yuk, Fa! Udah jam setengah tiga ini!”
“Makan
lah, May. Nanti kalau Danis ngajak makan siang dan aku udah makan kan nggak
lucu”
“Yaudah,
tar makan lagi. Kan perut kamu bisa melar gitu!”
“Maya
ih bercanda terus!”
“Ayo
Fa, makan!”
“Mayaaaa!”
“Appan
sih, Fa?” dia menyerah. Diam.
Aku
juga diam, mengamati gadis itu. Sebentar-sebentar mengecek ponsel,
menggerak-gerakkan kaki dengan gelisah, menghela nafas, menguap. Setengah jam
berlalu, satu jam, dua jam. Setengah empat!
“Fa,
udah setengah empat. Dia nggak dateng, mungkin lupa. Ayo kita pulang!” aku menggenggam
tangannya.
“Dia
pasti dateng, May. Kamu pulang dulu aja. Nanti tante nyariin,” Elfa tersenyum
mengangkat bahu.
Aku
mengemasi barang-barangku. Pamit, tapi tak pernah benar-benar pergi. Aku selalu
tau ceritanya tanpa Elfa mengatakannya. Paham betul setiap detilnya. Meskipun
antara Danis maupun Elfa tak ada yang menyangka aku tau lebih dari apa yang
mereka ingin aku tahu.
Hari
sudah gelap. Gadis itu masih duduk disana. Sangat sabar menunggu kabar baik itu
datang. Tapi rencana Tuhan tak begitu, tak seperti apa yang ia inginkan. Denis
tak pernah datang.
Elfa
berdiri dari tempat duduknya saat waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh
menit. Berjalan lemah, cemberut sepanjang jalan. Aku tau dia tak akan pulang,
dia tak menyerah begitu saja. Langkah kakinya membawa tubuhnya ke rumah Danis.
Dia
menunggu di sana, di depan gerbang yang tertutup. Mendekap tubuhnya yang mulai
kedinginan. Menatap nanar layar ponselnya. Sesekali mengirimi pesan singkat.
Tak bosan, masih tetap luar biasa sabar. Aku menurunkan kaca mobil, menjaganya
dari jauh.
Jam
setengah delapan, Elfa membeli dua bungkus nasi Goreng. Berharap makan malam
akan menggantikan kisah yang hilang. Lalu duduk lagi, menanti dengan teramat
sabar.
Tepat
pukul delapan. Sebuah mobil putih merayap dan turun di depan gerbang rumah
Danis. Elfa mulai bersemangat kembali. Sayangnya, kenyataan yang ada lebih
menyakitkan, lebih perih, Danis memang pulang. Tapi dia tidak sendiri, dia
bersama Melissa.
“Elfa,
ngapain kamu disini?” Dani menaikkan sebelah alisnya. “Eh, ini Melissa, mantan
aku,” dia melanjutkan. “Lis, ini Elfa pacar aku.” Tanpa rasa bersalah Danis
mengenalkan keduanya.
“Aku
pulang ya, Danis” Lissa memegang kemudi lagi. Menginjak gas, pergi, berlalu.
“Ada
apa, Fa?” Danis bertanya lagi.
“Aku
bawain nasi goreng buat kamu,” suaranya bergetar.
“Kamu
makan aja, Fa. Aku udah makan tadi. Aku masuk ya, capek banget. Kamu mau
masuk?” Elfa menggeleng. Ada sebuah bendungan dimatanya. Danis pergi, berlalu,
tanpa perduli lagi.
Lepas
sudah, air mata yang ia tahan mengalir begitu saja. Secuil kendali diri yang ia
bangun kini hancur berkeping-keping. Ya Tuhan, sungguh aku pernah tahu rasa
itu, dan sungguh Kau tak pernah salah menuliskan takdir. Bukakan segera bagian
indah yang Kau janjikan itu, Tuhan. Gadis yang teramat sabar itu terluka.
Aku
mengemudikan mobilku mendekati rumah Danis. Kini tiba bagianku. Aku akan ambil
peran, berpura-pura kebetulan lewat.
“Elfa,
kamu ngapain disini? Kamu belum pulang?” aku turun dari mobil dengan
tergesa-gesa. Membujuk hatiku agar tak ikut menangis. Aku nggak nyangka Denis,
kamu melukai gadis berhati lembut ini.
“Ayo
kita pulang. Kamu tidur di rumah aku aja ya. Takut ganggu anak kos lain kalau
kamu pulang jam segini,” Elfa memang tinggal di kos-kosan. Jauh dari orang
tuanya. Maka dari itu aku yang selalu berusaha menggantikan peran keluarga,
meski tak pernah sama, atau bahkan mendekati.
Dia
tak menolak sedikitpun. Hanya menatap kosong keluar jendela. tak bicara apapun.
Tidak juga menangis. Tapi lebih dari itu. Sebuah sakit yang bahkan tak cukup
hanya digambarkan dengan air mata.
Sesampainya
di rumah, mama menyiapkan air hangat. Aku menyajikan makanan, membujuknya
makan. Tak ada yang bertanya apa yang terjadi, kami semua tau, dia akan
bercerita jika waktunya tiba. Setelah mandi dan makan Elfa meringkuk di tempat
tidur, mencoba menenggelamkan rasa sakit di rongga dadanya ke dalam mimpi yang
indah, berharap esok pagi ia akan terbangun dengan seulas senyum. Hati bersih
yang telah terobati.
Dilihat
dari kaca mata siapapun, tak perduli kaca mataku, kaca mata kalian, bahkan
kacamata Tuhan. Elfa
adalah gadis yang luar biasa. Pagi harinya dia bangun sudah riang kembali,
sudah ceria, menggulingkanku sampai jatuh dan terbangun, menyapa mama, membatu
memasak, dan menyiapkan nasi goreng untuk Danis.
Aku
memang selalu tahu kisah lengkapnya, selalu tahu detil ceritanya. Tapi aku tak
pernah masuk ke dalam hatinya, aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan dalam
semalam, apa yang ia putuskan, aku tak pernah tahu.
“May,
nanti temenin aku ke fakultas Danis ya. Nganterin ini,” ucapnya di sela-sela
sarapan. Aku hanya tersenyum, mengangguk.
***
Tuhan, sungguh, Kau yang mengatur semua ini. Kau yang paling tahu.
Mentari tepat berada di atas kepala.Elfa dengan gemas menarik tanganku.
Mencari-cari sosok pujaan hatinya itu. Lima belas menit memutari lapangan di
fakultas Denis. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Sampai sudut mataku
mengangkap sosok Danis, tapi tidak sendiri. Bersama Melissa.
“I. . . tu, Danis kan?” terlambat. Elfa menghentikan langkahnya dan
bertanya terbata. Aku mengangguk patah-patah.
“Danis!” Elfa memanggilnya.
“Elfa, ngapain kamu disini?” tanyanya, lagi-lagi mengerutkan dahi.
“Aku
bawa makan buat kamu, Danis,” pelan-pelan tangan Elfa bergerak mengulurkan box
makanan yang ia bawa.
“Pacar kamu norak banget sih, Danis!” Melissa menyibakkan rambutnya. Detik
berikutnya Danis menyeret Elfa, aku melotot galak kearah Lissa.
“Kamu
denger, kan Lissa bilang apa? Kamu itu norak, Fa. Bawain makan siang pake box
makanan butut begitu, memangnya aku anak TK? dan aku mau kasih tau kamu, kamu
itu nggak kaya mantan-mantan aku. Kamu itu nggak stylish, bawel lagi. Tiap
menit sms, nelfon, aku capek, Fa! Coba kamu belajar dari Lissa. Dia cantik,
nggak bawel, fleksibel, mudah bergau, dan yang pasti dia nggak norak kaya
kamu!”
Bagai
petir yang menyambar, menyentuh bagian paling sensitive, menghujani pelangi
tanpa ampun. Keceriaan itu, kesabaran itu, memang tak pernah ada batasnya, kita
sendiri yang membangunnya. Aku berani bersaksi, Elfa membangun batas kesabaran
itu lebih panjang dari yang aku bangun, dan Danis telas melampaui garis yang
tak seharusnya ia sentuh.
“Udah
bicaranya?” Elfa angkat bicara, lemah, “Aku Cuma mau kamu tau, aku bukan
mantan kamu. Kami semua berbeda. Kalau kamu lebih nyaman sama mereka, get them
back, I give you freedom. Aku nggak akan jadi siapa-siapa kamu lagi” over.
Pergi, dengan luka yang tak tergambar oleh apapun. Kami berdua meninggalkan
Danis dan Lissa yang terdiam. Aku sangat ingin menampar dua mahkluk mengerikan
itu. Tapi ini bukan bagianku, bukan tempatku, bukan hakku.
Aku
melingkarkan lenganku ke lehernya, mencoba mengalirkan semangat, menyembuhkan
luka yang sedang menganga di hatinya. Aku memang selalu tahu kisah lengkapnya, selalu tahu
detil ceritanya. Tapi aku tak pernah masuk ke dalam hatinya, aku tak pernah
tahu apa yang ia pikirkan, apa yang ia rasakan, seberapa dalam pisau itu
melubangi hatinya, aku tak tahu pasti.
Disinilah kami, tujuh hari setelah kejadian itu, di caffe kampus. Elfa menangis
hebat setelah kami sampai di mobil. Sampai hari ini dia belum mendapatkan
keceriaannya lagi.
Aku
tahu rasa sakit itu, aku pernah punya.
Kalau
aku boleh menebak, pasti kalian akan memaki Danis. Laki-laki brengsek, tidak
punya perasaan, kurang ajar, atau apalah sebagainya. Sebagian besar memang
begitu. Sebagian besar, tapi bukan berarti kisah ini seluruhnya salah Danis.
Aku tidak mencoba membela laki-laki itu, dia memang bersalah.
Dengan kaca mata biasa, pasti terlihat Danis yang salah. Telak, tanpa ampun.
Tapi dengan sebuah kaca mata lain, pengertian yang lain, pemahaman lain. Elfa
memiliki persen kesalahan disini, dia begitu mencintai Danis, teramat. Sehingga
dia lupa memberi celah untuk Danis merasakan hal yang sama, menumbuhkan rasa
yang sama. Karena sesungguhnya, perasaan itu tak mudah dimengerti, kadang harus
melewati masa sulit dulu, baru hati yang akan berkata.
Seperti saat ini, dengan berakhirnya hubungan Danis dan elfa. Tujuh malam Danis
tidak bisa tidur nyenyak. Berkali-kali melirik ponselnya, berharap ada pesan
masuk, berharap mendapatkan omelan bawel. Setiap siang menunggu Elfa
mengantarkan nasi goreng, rindu. Hatinya telah sempurna menerjemahkan rasa.
Danis tau dia telah jatuh hati pada Elfa. Terlambat. Semua telah berakhir.
Takdir mereka berdua memang menyakitkan.
Tak
ada yang bisa ku lakukan, hanya mendampingi. Memberi pemahaman bahwa hidup
harus berjalan. Berharap Tuhan segera membukakan bagian terbaik yang Ia
janjikan.