Pertunjukan ini diadaptasi dari
karya Bertolt Brecht yang mengambil tema tentang perjuangan seorang Ibu
dan tiga orang anaknya untuk bertahan pada Perang Kristen keenam di
Eropa yang berlangsung selama 30 tahun dari tahun 1618 – 1648.
Tokoh utama dari kisah ini adalah seorang Ibu
yang bernama Anna Palini yang biasa disebut dengan nama Ibu Brani. Si Ibu punya
tiga anak, dua lelaki, dan satu perempuan. Anak pertamanya namanya Elip, anak
keduanya bernama Keju Swiss yang biasa dipanggil Fejos, dan anak ketiganya yang
bisu yaitu Katrin.
Nano Riantiarno, sutradara
sekaligus pemilik Teater Koma menyadurnya kembali dan mengadaptasinya menjadi
rasa Indonesia. Percampuran Jerman dan Indonesia disajikan lewat kostum, lagu,
juga ornament seperti padi, tebu, terong, bawang, cabe, ketela, ubi kayu yang
ada di pentas. Selain itu istilah dan nama pemain yang juga disesuaikan dengan
lidah Indonesia.
Kisah perang berbau agama di
Eropa itu memang bisa dibilang jauh dari Nusantara, dari segi waktu pun dari
segi masalah. Namun persoalan perang ini ditarik menjadi perang yang bisa
terjadi di mana pun, terutama yang menyangkut kekuasaan. Penonton diajak
merenungkan apakah memang ada yang benar-benar meraih untung dalam perang?
Dalam konteks kekinian, lakon ini diarahkan pada
pemilu 2014 yang menurut Nano, juga termasuk ‘perang’ dalam bentuk berbeda.
Maka “Ibu” tak lagi sekedar ibu biologis tapi dipersonifikasikan dalam makna
yang lebih luas, bisa menjadi Negara dengan rakyatnya. “Siapakah Ibu kita
sekarang ini??? ini pertanyaan yang sungguh serius, kata Nano.
Secara keseluruhan, menonton teater ini sangat memuaskan.
Teater Koma benar – benar diluar perkiraan.. Tata panggungnya
benar – benar artistik, akting pemainnya (semuanya) benar – benar sesuai, alur
dan plot ceritanya juga menarik. Para pemainnya pun profesional. Ada sedikit
insiden di salah satu scene perang, dimana pembawa bendera Hitam dan bendera
Putih tersangkut satu sama lain. Hebatnya mereka tidak panik tapi langsung
berimprovisasi supaya tidak terjadi kekacauan. Yang agak sedikit
mengganjal adalah dialog-nya yang agak sedikit aneh. Hal itu mungkin
karena percakapan
diterjemahkan secara harfiah dari naskah awal yang ditulis
oleh Bertolt Brecht. Sebenarnya tidak masalah jika semua dialog memang
ditujukan dengan bahasa yang formal, tapi ada beberapa improvisasi yang
menggunakan bahasa sekarang seperti mengobrol. Jadi kesannya kurang konsisten.
Secara cerita,bisa dibilang biasa saja. Cerita
tentang perang, bagaimana pun keinginan kita bisa mendapat keuntungan dari
perang, tetap saja rugi. Ibu Brani yang semula mengeruk untung dari perang,
akhirnya menanggung kerugian yang luar biasa karena perang. Kerugian yang
bahkan tidak dapat diganti dengan apapun juga. Perang memang akan selalu
memakan korban, terutama rakyat kecil. Tidak peduli siapa yang menang ataupun
siapa yang kalah, semuanya rugi.
Diedit dari berbagai
sumber