First, thanks to kak Linda, penyiar radio yang udah ngijinin aku pakai namanya. She is verry kind radio announcer :), Happy reading. chek this out!
Mentari teduh bersinar. Beberapa rumput masih basah oleh embun. Semut-semut kecil mulai keluar dari gundukan tanah dan berbaris. Setangkai mawar merah merekah manis di hadapanku. Aku duduk menikmati hembusan angin yang menelisik manja menerpa wajahku. Barbalut seragam biru-putih, jaket ungu, sepatu hitam, jam tangan ungu pucat, jilbab putih, dan buku coklat dalam dekapan.
Namaku Linda Savira. Aku melaksanakan studiku di SMPN 3 Godean. Sekolah yang luar biasa hebat dimataku. Duduk menempati salah satu kursi di ruang kelas 9a. Kelas paling ajaib, paling lengkap, dan serba ada. Di sekolah ini aku mulai mengerti diriku, mengukir mimpiku, belajar menatap keluar jendela diriku.
Aku dan segala kecintaanku terhadap pohon yang tumbuh kokoh. Kupu-kupu yang bersenda gurau bersama angin. Tanah basah, bunga mekar. Pelataran bersih dari plastik. Hal-hal menyejukkan itu membawaku menjadi pemimpin sekaligus penggerak teman-temanku lewat organisasi Go Clean, organisasi dengan lima puluh anggota pecinta lingkungan.
“Linda, sampai kapan duduk disana?” Danny, teman seperjuanganku menyodorkan ember berisi air dan gayung merah muda.
Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Lesung pipit faforitku bertengger di pipinya menyapa mataku. Parfum maskulin aroma tubuhnya menyambut hidungku. Mata kecoklatan berkilat-kilat bertaut dengan mataku.
“Hey, Linda! Malah bengong!” aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyadari wajah konyolku sedang mengaguminya.
“Pagi, Danny!” aku berdiri dan mengambil gayung merah muda dalam genggamnya. Tersenyum, lalu masuk ke ruang kelas dan meletakkan tas biruku.
Ini lah kegiatan rutin kami berdua. Setiap pagi, sebelum murid-murid datang. Mengairi tanaman, merawat mereka. Membersihkan sampah di sekitar lingkungan. Aku dan Danny, dua siswa yang begitu mencintai alam ini.
Danny, satu setengah tahun cukup untuk aku mengerti dia. Tuturnya sopan, tingkahnya lembut. Lesung pipit selalu bertengger di pipinya. Dia memiliki mata coklat kehitaman yang begitu terduh dan menyejukkan. Namun, sialnya mata itu yang membuat aku diam memendam rasa padanya selama setahun ini. Mata itu yang selalu membungkam mulutku. Mata itu yang selalu membuatku gugup setiap aku mencoba meluapkan rasa. Namun, rasa yang kubungkus dengan baik jauh di dalam lembah hatiku ini tak pernah mengusikku. Aku tau, berada di dekatnya sudah cukup.
Brak. Semua terjadi dalam hitungan cepat. Gayung berisi air dalam genggamku terlepas. Aku terjatuh dalam tanah basah. Seketika jaket ungu yang kukenakan kotor oleh lumpur. Di hadapanku, Riyo si biang rusuh berdiri dengan memasang wajah super duper mega menyebalkan.
“Linda, mata kamu dimana?” Tuh kan, orang menyebalkan itu malah marah-marah terlebih dulu! Aku menghela nafas, Danny membantuku berdiri. Satu set parfum maskulin aroma tubuhnya kembali berputar di hidungku. Riyo melempar plastik bungkus coklat yang baru saja dia makan dengan entengnya.
“Riyo! Aku baru saja membersihkannya!” hatiku panas menahan marah. Jika saja ini kartun, pasti telingaku sudah beruap dan wajahku merah padam saking marahnya.
“Trus, urusannya sama aku apaan?” dia memasang wajah sangat menyabalkan.
“Rio. . .”
“Sudah, Lin!” Danny memegang lenganku, memungut sampah yang baru saja dibuang Rio dan membuangnya ke tempat sampah, “Selesai masalah kan?” Danny menaikkan satu alisnya.
“Kalian berdua sangat serasi ya. Sama-sama seperti tukang sampah” Rio menghambur pergi. Ada hal aneh yang kutangkap dalam nada suara Riyo. Lagi-lagi Danny memegang lenganku ketika aku bersiap menyemburkan amarah.
Danny, entah mengapa dia bisa bersikap seperti itu. Bahkan kecintaanku terhadap lingkungan pun tak mampu membuatku memungut sampah di depan mata Riyo seperti apa yang dilakukan Danny. Bell sekolah berbunyi. Aku dan Danny beriringan masuk kelas. Melanjutkan hari, merajut cerita, menuliskan peristiwa, membangun kenangan.
###
Hari berganti. Mendung dengan sombongnya menutupi matahari. Gerimis mulai turun menyapa pagi nan dingin. Aku masih duduk menikmati setangkai dandelion yang sebagian telah basah oleh air hujan. Tanganku menengadah mencoba berbaur dengan air. Membiarkan dinginnya menyentuh lembut kulit tanganku.
“Alam lagi meringankan tugas kita” aku melayangkan perhatianku ke wajah dengan sepasang lesung pipit yang sangat indah.
“Pagi Danny!” aku menyapanya. Aroma maskulin tubuhnya yang begitu kuhafal langsung menyeruak di hidungku.
“Menyenangkan sekali pagi-pagi begini menikmati hujan turun” Danny duduk di sampingku. Kami berdua memiliki hobi sama, kecintaan terhadap alam yang sama, memiliki cara menyukai kebersihan yang sama. Hampir seperti pinang dibelah dua. Seperti berkaca di cermin datar. Itu yang membuatku selalu menyukainya. Selalu nyambung dengannya. Hal itu yang menyebabkan aku terus berasumsi bahwa kita serasi.
“Nggak perduli mau pagi atau siang. Hujan itu selalu indah” ujarku.
“Kamu bener banget, Lin,” ya kan. Dia setuju, satu lagi hal yang sejalan dengannya.
Kulirik jam tangan merah muda pucat yang melingkar di tangan kiriku. Pukul setengah tujuh. Kelas mulai ramai. Riyo si biang rusuh itu tumben sekali belum datang. Belum membuang sampah seenak jidatnya. Biasanya jam segini dia sudah merusuh.
“Kak Linda!” seorang anak perempuan, kelas tujuh berlari-lari menembus hujan. Dia mengaduk-aduk tasnya, mencari sesuatu.
“Kak, aku dapet titipan dari mamanya kak Riyo” dia menyodorkan sepucuk surat beramplop putih rapi. Riyo tidak berangkat hari ini? Kenapa? Ah, bukankan tak ada dia itu berarti tenang dan damai?
“Oke, makasih ya” ucapku. Gadis yang mengantarkan surat berlari kecil melewati halaman sekolah.
Bell tanda masuk berdering. Aku mengemasi barang-barangku dan membawanya masuk ke kelas. Duduk di barisan paling depan bersama sahabatku, Alice. Menyiapkan buku dan berdoa.
Jam pertama begitu tenang, jam kedua masih sama, jam ketiga mulai membosankan, jam istirahat menjemukan. Ada apa? Entahlah, seperti ada yang berbeda. Apakah karena biasanya ada Riyo yang merusuh? Yang ribut? Yang membuat kelas ramai? Ahh, tapi bukankah tak ada Riyo semua berjalan tenang? Dan aku selalu menyukai ketenangan.
“Linda!” Pak Roy, guru matematika yang berdiri di depan kelas mengacung-acungkan spidol sambil melotot kearahku.
“Riyo yang absen, Pak,” spontan aku menjawab.
“Ciyeee, Linda!” kelas menjadi riuh dan penuh gelak tawa. Siulan-siulan melayang memenuhi ruangan.
Aku menatap Alice yang memasang wajah setengah geli, setengah bingung, “Apa sih Lice?” tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.
“Diam, Diam semua!” Pak Roy memukul-mukulkan meja dengan galak, “Ayo Linda, jawab nomor tujuh!” pak Roy menunjuk rentetan soal di papan tulis.
“Seribu dua ratus dua puluh, Pak” jawabku. Syukurlah aku sudah mempelajari itu semalam. Selepas itu, aku mulai mengerti kenapa anak-anak begitu ribut. Ugh!
Bell nyaring menyapa ketika jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul tiga sore. Aku mengemasi buku-bukuku. Merapikan bajuku. Mengambil posisi untuk memanjatkan doa.
“Nggak biasanya kamu mengabaikan Matematika, Lin?” tanya Alice ketika pak Roy keluar kelas.
“Aku juga nggak ngerti, Lice,” jawabku sambil membenarkan posisi tas punggungku.
“Dan anehnya lagi, kamu menyebut-nyebut nama Riyo? jangan-jangan kau mulai menyimpan rasa untuk musuh bebuyutanmu itu, Lin?”
“Alice, apa-apaan sih?” aku melotot ke arahnya.
“Lin, hati kamu kan kamu yang tau. Kalau kamu sehati terus sama Danny, bukan berarti hati kamu membawamu ke Danny” tuturnya. Aku tertegun.
“Aku pulang ya, Lin” katanya sambil berlari keluar kelas.
Aku tak menyimpan rasa, aku tak menyukainya, bahkan kami bermusuhan. Namun, kenapa tak ada Riyo satu hari bisa membuatku mengabaikan matematika? Sedangkan ketika Danny tak di sekolah tiga hari tak ada perubahan menonjol dalam diriku.
###
Pagi berikutnya, Riyo sudah menduduki bangkunya. Merusuhkan segala hal, meributkan segala sesuatu, tapi dengan begitu dia mengembalikan segalanya ketempat semula. Membuatku tak merasa asing lagi.
“Lin, ikut aku yuk! Tapi kamu harus tutup mata” ujar Alice saat jam istirahat. Dia mengeluarkan sapu tangan hijau.
“Mau ngapain sih, Lice?” aku bingung.
“Udah, kamu nurut aja. Kamu percaya kan sama aku?” aku mengangguk. Tak pernah ada hal yang kuragukan dalam dirinya.
Dia menutup mataku. Setelah itu menggandeng tanganku dan menuntunku berjalan. Tentu saja aku masih mengenali ketika dia membawaku melewati pintu kelas. Masih megenali ketika kakiku masuk ke parit dekat ruang guru, untung kering sih. Aku juga masih tau ketika dia menuntunku menaiki anak tangga di samping kelas 8C menuju perpus. Kenapa dia membawaku ke lantai dua?
“Udah siap ya, Lin?” Alice membisikkan kata-kata di telingaku. Aku hanya mengangkat bahu. Pelan-pelan dia melepaskan penutup mataku.
Aku tak bisa berkata-kata. Ketika aku menengok ke lantai bawah di lapangan basket, anak-anak kelas tujuh sampai sembilan berkumpul disana. Beberapa anak memegangi kertas besar-besar bertuliskan ‘Linda, I LOVE YOU’. Yang lain menggenggam balon-balon merah muda berbentuk hati. Lalu kertas yang bertuliskan ‘Linda, I LOVE YOU’ berganti menjadi “Will You Be My Girl Friend?” siapa orang di balik ini? Tak mungkin Alice kan?
“Hai, Lin?” aku menoleh.
“Riyo?” dia datang sambil membawa tiga tangkai mawar merah sambil tersenyum.

“Would you?” dia mengulurkan karangan mawar di tangannya. Apakah ini jawaban dari nada aneh yang kutangkap dua hari lalu ketika dia mengatakan ‘Kalian berdua serasi’?
Sepertinya, pipi ku mulai memerah seperti tomat. Wajahku memanas. Jantungku mengalun tak normal. Otakku tak sanggup mencerna, hanya hati yang berjalan yang membuat kakiku tak lumpuh dan ambruk saking gugupnya. Mulutku tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Pelan, aku mengangguk dan memaksakan tangganku bergerak menerima karangan mawar di tangannya. Riyo meloncat bahagia.
Tepuk tangan riuh dan sorak-sorak anak-anak bagai musik yang mengiringi puluhan balon berbentuk hati yang dilepaskan dan terbang diudara. Alice yang berdiri di sampingku memelukku dengan erat. Jantungku berpacu, gugup. Keringat dingin membasahi kulit tanganku yang menggenggam karangan mawar.
Tentu saja keputusanku bukan hal yang tanpa dipikirkan. Aku telah memikirkan segalanya. Bahwa tak perlu selalu sama untuk menjadi satu. Bahwa aku dan Riyo itu beda dan saling melengkapi. Aku suka
membersihkan, tanpa Riyo yang suka mengotori tak akan berarti. Aku pendiam, kalau tak ada Riyo yang serba rusuh pasti segalanya akan datar. Dari semua itu aku mulai sadar. Hatiku membawaku ke Riyo, bukan ke Danny.
Kini tulisan di lapangan basket yang dipegang anak-anak sudah berganti lagi menjadi ‘Congratulation Riyo Linda!”