Selasa, 12 Maret 2013

Tolong Kami



Pagi menyapa,
Sepasang merpati menukik manja.
Hari begitu tenang,
Gemericik air menemani kesunyian.
Tiga jam lagi semua akan berganti.
Kami akan rubuh tak bersisa,
Oleh tangan jahil manusia,
Oleh kerakusan mereka.
Gedung-gedung kokoh akan didirikan,
Tanpa memperdulikan keberadaan kami,
Jalan-jalan raya akan di bangun
Dengan mengorbankan hidup kami.
Tolong kami manusia, Jangan musnahkan kami.
Pelihara kami manusia, dengar rintihan kami.
Kami akan menjaga bumi kalian, mencegah banjir dan longsor.
Kami juga akan melestarikan air.
Tapi tolong,
Jangan tebang kami, Pohon yang menjaga kalian.

Kau Tetap Bunda Kami



Bunda, kasihmu telah terbit sebelum matahari sempat menampakkan diri. Bermain pisau dan arang saat putra-putrimu masih terlelap. Begulat dengan polusi untuk mengabdi. Setiap langkahmu penuh arti. Peluhmu simbol dari jutaan hal kecil yang  kau perjuangkan. Bagai air yang mengalir, tak kenal lelah kau teriakkan semangat-semangat tanpa perduli kami yang acuh. Kau selipkan peringatan dalam setiap langkah kami ketika mulai keliru. Tak pernah menunjukkan amarah ketika kami nakal. Kau selalu tersenyum dan percaya kami punya masa depan yang hebat.

Bunda, biar semua orang menyerah, biar seluruh insan tak memiliki harapan lagi, kau menjadi satu-satunya orang yang tetap tersenyum dan bersinar. Membawa jutaan hal magis yang membangunkan semangat kami. Memberi janji esok yang lebih baik. Membimbing kami sambil menggenggam lentera di tangan kananmu untuk menerangi jalan gelap yang kami lewati.

Bunda, doamu untuk masa depan kami, untuk hidup kami esok dan lusa terpilin di udara setiap sepertiga berakhirnya malam. Terbang bersama malaikat pengirim doa melewati kelip bintang dan lapisan-lapisan awan. 

Bunda, satu lagi tahun telah kau lewati dengan hal-hal luar biasa. Di hari ulang tahunmu ini, izinkan doa kami mengiringimu. Semoga bunda selalu sehat untuk membimbing kami. Semoga bunda diberi kesabaran untuk menghadapi tingkah kekanak-kanakan kami. Semoga bunda diberi umur panjang dan memberi kami cinta kasih. Semoga bunda selalu dalam lindungan-Nya dan dimudahkan dalam melangkah.

Bunda, jangan pernah bosan menuntun langkah kami. Doakan kami untuk kesuksesan kami. Teruslah tersenyum, bersinar, dan memberi kami semangat. Biarlah waktu merenggut kebersamaan kita. Meski tiga-empat bulan lagi kami harus melangkah sendiri. Berjalan melewati jalan yang lebih terjal. Mencari mimpi-mimpi kami. Ibu Handayani tetap bunda kami. Selamat Ulang Tahun, Bunda :D

For Ibu Handayani, Bunda kami, 9A

Jumat, 08 Maret 2013

Tak Harus Selalu Senada Untuk Menjadi Satu


First, thanks to kak Linda, penyiar radio yang udah ngijinin aku pakai namanya. She is verry kind radio announcer :), Happy reading. chek this out!

Mentari teduh bersinar. Beberapa rumput masih basah oleh embun. Semut-semut kecil mulai keluar dari gundukan tanah dan berbaris. Setangkai mawar merah merekah manis di hadapanku. Aku duduk menikmati hembusan angin yang menelisik manja menerpa wajahku. Barbalut seragam biru-putih, jaket ungu, sepatu hitam, jam tangan ungu pucat, jilbab putih, dan buku coklat dalam dekapan.

    Namaku Linda Savira. Aku melaksanakan studiku di SMPN 3 Godean. Sekolah yang luar biasa hebat dimataku. Duduk menempati salah satu kursi di ruang kelas 9a. Kelas paling ajaib, paling lengkap, dan serba ada. Di sekolah ini aku mulai mengerti diriku, mengukir mimpiku, belajar menatap keluar jendela diriku.

    Aku dan segala kecintaanku terhadap pohon yang tumbuh kokoh. Kupu-kupu yang bersenda gurau bersama angin. Tanah basah, bunga mekar. Pelataran bersih dari plastik. Hal-hal menyejukkan itu membawaku menjadi pemimpin sekaligus penggerak teman-temanku lewat organisasi Go Clean, organisasi dengan lima puluh anggota pecinta lingkungan.

    “Linda, sampai kapan duduk disana?” Danny, teman seperjuanganku menyodorkan ember berisi air dan gayung merah muda.

    Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Lesung pipit faforitku bertengger di pipinya menyapa mataku. Parfum maskulin aroma tubuhnya menyambut hidungku. Mata kecoklatan berkilat-kilat bertaut dengan mataku.

    “Hey, Linda! Malah bengong!” aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyadari wajah konyolku sedang mengaguminya.

    “Pagi, Danny!” aku berdiri dan mengambil gayung merah muda dalam genggamnya. Tersenyum, lalu masuk ke ruang kelas dan meletakkan tas biruku.

    Ini lah kegiatan rutin kami berdua. Setiap pagi, sebelum murid-murid datang. Mengairi tanaman, merawat mereka. Membersihkan sampah di sekitar lingkungan. Aku dan Danny, dua siswa yang begitu mencintai alam ini.

    Danny, satu setengah tahun cukup untuk aku mengerti dia. Tuturnya sopan, tingkahnya lembut. Lesung pipit selalu bertengger di pipinya. Dia memiliki mata coklat kehitaman yang begitu terduh dan menyejukkan. Namun, sialnya mata itu yang membuat aku diam memendam rasa padanya selama setahun ini. Mata itu yang selalu membungkam mulutku. Mata itu yang selalu membuatku gugup setiap aku mencoba meluapkan rasa. Namun, rasa yang kubungkus dengan baik jauh di dalam lembah hatiku ini tak pernah mengusikku. Aku tau, berada di dekatnya sudah cukup.

    Brak. Semua terjadi dalam hitungan cepat. Gayung berisi air dalam genggamku terlepas. Aku terjatuh dalam tanah basah. Seketika jaket ungu yang kukenakan kotor oleh lumpur. Di hadapanku, Riyo si biang rusuh berdiri dengan memasang wajah super duper mega menyebalkan.

    “Linda, mata kamu dimana?” Tuh kan, orang menyebalkan itu malah marah-marah terlebih dulu! Aku menghela nafas, Danny membantuku berdiri. Satu set parfum maskulin aroma tubuhnya kembali berputar di hidungku. Riyo melempar plastik bungkus coklat yang baru saja dia makan dengan entengnya.

    “Riyo! Aku baru saja membersihkannya!” hatiku panas menahan marah. Jika saja ini kartun, pasti telingaku sudah beruap dan wajahku merah padam saking marahnya.

    “Trus, urusannya sama aku apaan?” dia memasang wajah sangat menyabalkan.

    “Rio. . .”

    “Sudah, Lin!” Danny memegang lenganku, memungut sampah yang baru saja dibuang Rio dan membuangnya ke tempat sampah, “Selesai masalah kan?” Danny menaikkan satu alisnya.

    “Kalian berdua sangat serasi ya. Sama-sama seperti tukang sampah” Rio menghambur pergi. Ada hal aneh yang kutangkap dalam nada suara Riyo. Lagi-lagi Danny memegang lenganku ketika aku bersiap menyemburkan amarah.

    Danny, entah  mengapa dia bisa bersikap seperti itu. Bahkan kecintaanku terhadap lingkungan pun tak mampu membuatku memungut sampah di depan mata Riyo seperti apa yang dilakukan Danny. Bell sekolah berbunyi. Aku dan Danny beriringan masuk kelas. Melanjutkan hari, merajut cerita, menuliskan peristiwa, membangun kenangan.

###

    Hari berganti. Mendung dengan sombongnya menutupi matahari. Gerimis mulai turun menyapa pagi nan dingin. Aku masih duduk menikmati setangkai dandelion yang sebagian telah basah oleh air hujan. Tanganku menengadah mencoba berbaur dengan air. Membiarkan  dinginnya menyentuh lembut kulit tanganku.
    “Alam lagi meringankan tugas kita” aku melayangkan perhatianku ke wajah dengan sepasang lesung pipit yang sangat indah.

    “Pagi Danny!” aku menyapanya. Aroma maskulin tubuhnya yang begitu kuhafal langsung menyeruak di hidungku.

    “Menyenangkan sekali pagi-pagi begini menikmati hujan turun” Danny duduk di sampingku. Kami berdua memiliki hobi sama, kecintaan terhadap alam yang sama, memiliki cara menyukai kebersihan yang sama. Hampir seperti pinang dibelah dua. Seperti berkaca di cermin datar. Itu yang membuatku selalu menyukainya. Selalu nyambung dengannya. Hal itu yang menyebabkan aku terus berasumsi bahwa kita serasi.

    “Nggak perduli mau pagi atau siang. Hujan itu selalu indah” ujarku.

    “Kamu bener banget, Lin,” ya kan. Dia setuju, satu lagi hal yang sejalan dengannya.

    Kulirik jam tangan merah muda pucat yang melingkar di tangan kiriku. Pukul setengah tujuh. Kelas mulai ramai. Riyo si biang rusuh itu tumben sekali belum datang. Belum membuang sampah seenak jidatnya. Biasanya jam segini dia sudah merusuh.

    “Kak Linda!” seorang anak perempuan, kelas tujuh berlari-lari menembus hujan. Dia mengaduk-aduk tasnya, mencari sesuatu.

    “Kak, aku dapet titipan dari mamanya kak Riyo” dia menyodorkan sepucuk surat beramplop putih rapi. Riyo tidak berangkat hari ini? Kenapa? Ah, bukankan tak ada dia itu berarti tenang dan damai?

    “Oke, makasih ya” ucapku. Gadis yang mengantarkan surat berlari kecil melewati halaman sekolah.
    Bell tanda masuk berdering. Aku mengemasi barang-barangku dan membawanya masuk ke kelas. Duduk di barisan paling depan bersama sahabatku, Alice. Menyiapkan buku dan berdoa.

    Jam pertama begitu tenang, jam kedua masih sama, jam ketiga mulai membosankan, jam istirahat menjemukan. Ada apa? Entahlah, seperti ada yang berbeda. Apakah karena biasanya ada Riyo yang merusuh? Yang ribut? Yang membuat kelas ramai? Ahh, tapi bukankah tak ada Riyo semua berjalan tenang? Dan aku selalu menyukai ketenangan.

    “Linda!” Pak Roy, guru matematika yang berdiri di depan kelas mengacung-acungkan spidol sambil melotot kearahku.

    “Riyo yang absen, Pak,” spontan aku menjawab.

“Ciyeee, Linda!” kelas menjadi riuh dan penuh gelak tawa. Siulan-siulan melayang memenuhi ruangan.
Aku menatap Alice yang memasang wajah setengah geli, setengah bingung, “Apa sih Lice?” tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.

    “Diam, Diam semua!” Pak Roy memukul-mukulkan meja dengan galak, “Ayo Linda, jawab nomor tujuh!” pak Roy menunjuk rentetan soal di papan tulis.

    “Seribu dua ratus dua puluh, Pak” jawabku. Syukurlah aku sudah mempelajari itu semalam. Selepas itu, aku mulai mengerti kenapa anak-anak begitu ribut. Ugh!

 Bell nyaring menyapa ketika jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul tiga sore. Aku mengemasi buku-bukuku. Merapikan bajuku. Mengambil posisi untuk memanjatkan doa.

“Nggak biasanya kamu mengabaikan Matematika, Lin?” tanya Alice ketika pak Roy keluar kelas.

“Aku juga nggak ngerti, Lice,” jawabku sambil membenarkan posisi tas punggungku.

“Dan anehnya lagi, kamu menyebut-nyebut nama Riyo? jangan-jangan kau mulai menyimpan rasa untuk musuh bebuyutanmu itu, Lin?”

“Alice, apa-apaan sih?” aku melotot ke arahnya.

“Lin, hati kamu kan kamu yang tau. Kalau kamu sehati terus sama Danny, bukan berarti hati kamu membawamu ke Danny” tuturnya. Aku tertegun.

“Aku pulang ya, Lin” katanya sambil berlari keluar kelas.

Aku tak menyimpan rasa, aku tak menyukainya, bahkan kami bermusuhan. Namun, kenapa tak ada Riyo satu hari bisa membuatku mengabaikan matematika? Sedangkan ketika Danny tak di sekolah tiga hari tak ada perubahan menonjol dalam diriku.

###

Pagi berikutnya, Riyo sudah menduduki bangkunya. Merusuhkan segala hal, meributkan segala sesuatu, tapi dengan begitu dia mengembalikan segalanya ketempat semula. Membuatku tak merasa asing lagi.

“Lin, ikut aku yuk! Tapi kamu harus tutup mata” ujar Alice saat jam istirahat. Dia mengeluarkan sapu tangan hijau.

“Mau ngapain sih, Lice?” aku bingung.

“Udah, kamu nurut aja. Kamu percaya kan sama aku?” aku mengangguk. Tak pernah ada hal yang kuragukan dalam dirinya.

Dia menutup mataku. Setelah itu menggandeng tanganku dan menuntunku berjalan. Tentu saja aku masih mengenali ketika dia membawaku melewati pintu kelas. Masih megenali ketika kakiku masuk ke parit dekat ruang guru, untung kering sih. Aku juga masih tau ketika dia menuntunku menaiki anak tangga di samping kelas 8C menuju perpus. Kenapa dia membawaku ke lantai dua?

“Udah siap ya, Lin?” Alice membisikkan kata-kata di telingaku. Aku hanya mengangkat bahu. Pelan-pelan dia melepaskan penutup mataku.

Aku tak bisa berkata-kata. Ketika aku menengok ke lantai bawah di lapangan basket, anak-anak kelas tujuh sampai sembilan berkumpul disana. Beberapa anak memegangi kertas besar-besar bertuliskan ‘Linda, I LOVE YOU’. Yang lain menggenggam balon-balon merah muda berbentuk hati. Lalu kertas yang bertuliskan ‘Linda, I LOVE YOU’ berganti menjadi “Will You Be My Girl Friend?” siapa orang di balik ini? Tak mungkin Alice kan?

“Hai, Lin?” aku menoleh.

“Riyo?” dia datang sambil membawa tiga tangkai mawar merah sambil tersenyum.

 “Would you?” dia mengulurkan karangan mawar di tangannya. Apakah ini jawaban dari nada aneh yang kutangkap dua hari lalu ketika dia mengatakan ‘Kalian berdua serasi’?

Sepertinya, pipi ku mulai memerah seperti tomat. Wajahku memanas. Jantungku mengalun tak normal. Otakku tak sanggup mencerna, hanya hati yang berjalan yang membuat kakiku tak lumpuh dan ambruk saking gugupnya. Mulutku tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Pelan, aku mengangguk dan memaksakan tangganku bergerak menerima karangan mawar di tangannya. Riyo meloncat bahagia.

Tepuk tangan riuh dan sorak-sorak anak-anak bagai musik yang mengiringi puluhan balon berbentuk hati yang dilepaskan dan terbang diudara. Alice yang berdiri di sampingku memelukku dengan erat. Jantungku berpacu, gugup. Keringat dingin membasahi kulit tanganku yang menggenggam karangan mawar.

Tentu saja keputusanku bukan hal yang tanpa dipikirkan. Aku telah memikirkan segalanya. Bahwa tak perlu selalu sama untuk menjadi satu. Bahwa aku dan Riyo itu beda dan saling melengkapi. Aku suka
membersihkan, tanpa Riyo yang suka mengotori tak akan berarti. Aku pendiam, kalau tak ada Riyo yang serba rusuh pasti segalanya akan datar. Dari semua itu aku mulai sadar. Hatiku membawaku ke Riyo, bukan ke Danny.

 Kini tulisan di lapangan basket yang dipegang anak-anak sudah berganti lagi menjadi ‘Congratulation Riyo Linda!”


Senin, 04 Maret 2013

Persahabatan Semanis Coklat


Berhubung bingung mau posting apa. dan berhubung buka file lama dan nemu ini. jadi aku posting ini aja :D cerpen pertamaku. masih kaku, jayus, dan belum banyak pilihan kata. chek this out!

Pagi itu cuaca cerah, awan hitam tak sedikit pun berani mengganggu kerja matahari. Queela berlari di koridor sekolah, rambutnya yang pangjang melambai ke kanan dan kiri. Setelah belok kiri di salah satu pertigaan sampailah dia di ruang kelas VIIA. Saat Queela masuk kelas sudah ramai. Dia berjalan menuju ke dekat tempat duduk Tiara.
“ Baru dateng, Non?” sapa Cintya.
“ Tumben telat?” kata Veryna.
Sebelum sampai, mereka bersenda gurau terdengar sura bel yang sangat keras dan mencengkam. Sura yang cempreng dapat memekakkan telinga. Para siswa berhamburan ke tempat duduk masing-masing. Tak terkecuali Queela dan teman-temannya.
Tak beberapa lama seorang guru masuk dengan langkah kaki yang keras.
            “ Hari ini ada ulangan harian!” kata ibu Dyana, guru matematika
            “ Aaaaaaa!”teriak anak anak spontan
            “stt,,, diam, diam!!!” kata bu Dyana sambil memukul mukulkan tongkat kayu yang sudah terlihat seperti ratusan tahun lamanya. Mungkin, tongkat itu dulu milik nenek dari nenek, nenek, nenek,neneknya ibu Dyana.
            “Queela, maju ke depan!” teriak ibu Dyana
            Dengan langkah mantap Queela maju ke depan kelas.
            ” bagikan ini!” kata ibu Dyana ketus.
Setelah Queela menerima soal dari ibu Dyana dia membagikan ke seluruh teman kelasnya. Kini kelas menjadi sunyi, hanya ada suara gesekan antara kertas dan pensil. Atau mungkin sesekali terdengar suara orang yang menggaruk garuk kepala.
            Dua jam pelajaran berlalu, bel yang cempreng kembali terdengar. Para murid berhamburan keluar menuju kantin. Queela mengeluarkan novel terbarunya. Lalu membaca kata demi kata yang ditulis oleh si penulis.
            ” kamu nggak beli makanan La?” tanya Tiara. Queela diam saja.
            ”La!” kata Cintya sambil menyenggol Queela.
            ” apaan sih? Jangan ganggu ah!” kata Queela.
            ” nie anak kalau udah baca nggak bisa di ganggu deh.” kata Veryna.
            ”udah tau nggak bisa di ganggu masih juga di ganggu.”kata Queela.
            ”La aku punya kejutan buat kamu” Kata Tiara
            ” apa?” tanya Queela tanpa menoleh.
            Tiba-tiba sebuah kalung dengan liotin seperempat lingkaran menggantung di depan mata Queela. Kalung berwarna biru dengan huruf Q itu sangat mengagetkan Queela.
            ” kalung?” tanya Queela terheran heran.
            ” kalung ini adalah tanda persahabatan kita.” kata Cintya.
            ”ini bukan hanya sembarang kalung”kata Tiara.
            ” kalung ini ada maknanya lho La!” kata Veryna.
            ” Huruf-huruf di tengahnya menandakan anggotanya” kata Cintya.
            ” kalung ini jika di satukan aka membentuk lingkaran.” kata Veryna.
            ” lingakaran itu tak berawal dan tak berakhir, seperti persahabatan kita, tak berawal, tak berakhir.” lajut Tiara.
            Dengan senyum bahagia yang menghiasi wajahnya Queela memeluk ketiga sahabatnya. Ari mata haru mengalir deras membasahi wajah cantik Queela.
            ” kalian adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya.” bisik Queela.
            ” usap air mata mu, sebelum bel masuk!” kata Tiara setelah melepas pelukan.
            Esok paginya matahari bersinar cerah, Queela ada janji dengan teman-temannya untuk pergi ke taman. Stelah ia menghabiskan roti selai cokaltnya ia bepamitan dengan ibunya.
            ” ma, Queela pergi ya.” kata Queela sambil mencium tangan ibunya.
            ” mau ke mana?” tanya ibunya.
            ” ke taman.” jawab Queela.
            ” hati-hati ya!” pesan ibunya.
            ” pasti,,, oh ya nanti ke rumah Cintya bentar ” teriak Queela sambil berlari keluar. Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah laku Queela.
            Queela terus berlari sampai ke taman. Di sana ketiga temannya sudah menunggu. Dia sangat besemangat untuk bertemu ketiga temannya. Dia menambah kecepatannya dan akhirnya jatuh terjerembab di rumput. Ketiga temannya berlari membantunya bediri.
            ” kamu masih mengantuk ya La? ” goda Cintya.
            ” apaan sih Cin?” kata Queela. Pipinya memerah menahan malu. Untung hanya mereka bertiga yang ada di taman itu. Kalau ada banyak orang mau di taruh di mana muka Queela.
            ” kamu nggak papa kan La?” tanya Tiara.
            ”ah nggak papa.” jawab Queela
            Lalu mereka duduk di  sebuah tempat duduk panjang. Mereka bersenda gurau bersama. Setelah beberapa lama bersenda gurau,
             ” La, kalung mu kok nggak di pakai?’” periksa Cintya.
            ” apa maksud mu Cin?” tanya Queela balik. Dia meraba lehernya, terus di raba-raba. Deg tanpa di sadarinya kalungnya tak menggantung lagi di leher Queela. Air matanya menggenang di pelupuk mata.
            ” La, aku nggak percaya kamu menghilangkan barang se penting itu.” kata Tiara
            ” apa kamu sudah tak menganggap persahabatan kita lagi La?” tambah Veryna.
            ” bukan maksud ku seperti itu” jawab Queela. Air matanya kini sudah mengalir pelan sampai di lehernya.
            ” aku kecewa sama kamu La.” kata Tiara sambil melangkah pergi diikuti Veryna. Sebelum Cintya ikut-ikutan pergi ia melihat tangisan Queela, dia meneteskan air mata lalu pergi meninggalkan Queela seorang diri.
            Queela bertekad untuk tak pulang sebelum menemukan kalung itu. Dia terus  mengelilingi taman itu. Sudah satu jam, tapi kalung itu belum juga di temukan. Awan yang tadinya cerah sekarang berubah menjadi hitam. Kilat menyambar-nyambar. Suasana menjadi gelap dan mengerikan. Hujan turun dengan sangat deras. Queela tak menyerah, ia berlarian kesana-kemari berusaha menemukan kalung itu.
Setelah Queela berlarian dibawah derasnya air hujan penglihatannya mulai berkurang, tanah yang di pijaknya seperti berputar-putar. Tapi, dia tak menyerah, dia terus mencari. Sampai akhirnya dia menemukan seberkas cahaya biru, dia tahu apa yang  ia cari telah di temukan.  Ia menemukan kalung itu tepat dimana saat ia jatuh. Queela mengambilnya, saat kalung itu di genggaman tangannya, dia tak dapat melihat apa-apa dan akhirnya dia jatuh pingsan di bawah derasnya air hujan.
            ” apa? Queela kritis?” tanya ibu Queela saat di rumah sakit.
Mendengar kata-kata ibu Queela, air mata Tiara, Veryna, dan Cintya tak dapat di bendung lagi, mereka merasa bersalah. Ibu Queela masuk dengan cepat melihat keadaan putrinya.
            ” ini semua salahku,” kata Tiara sesegukan.
            ” tapi, ini salah ku juga.” lanjut Veryna.
            ” tidak,ini semua salahku. Seharusnya aku tak meninggalkan Queela waktu itu.”ucap Cintya.
            ”Queela!” Tiara masuk ke kamar Queela di ikuti Cintya, dan Veryna.  
            Ibu Queela tahu kedatangan mereka bertiga, beliau keluar sambil mengatakan
            ” kalian pasti lebih bisa membuat Queela bangun, jagalah dia, saya mau pergi sebentar.”  Mereka bertiga menghampiri Queela.
            ” La, jangan seperti ini! Maaf kan aku!” kata Tiara.
            ” La, kita bertiga sangat menyesal atas kejadian di taman itu, maaf kan kami La!” tambah Cintya.
            ”Kami akan menynyikan lagu kesukaan mu, tapi bangun lah!” Kata Veryna.
Idaero doraseol geomyeon sarajil geomyeon
pieonaji anhasseo
ireoke barabomyeonseo sumi makhimyeon
nuneul gameun chae sarado joheulkka
boji anhado boyeoseo deutji anhado deullyeoseo
geudae sumgyeore dasi saranan baramkkoccheoreom
gago sipeodo mot ganeu
ango sipeodo mot anneun
geudae sonkkeuchi nae mame daheuni
            Queela menangis dalam bawah sadarnya mendengar lagu Korea kesukaannya itu di lantunkan. Sedikit demi sedikit matanya mulai terbuka. Dia mengedip-ngedipkan mata untuk menyesuaikan matanya. Senyum lebar dari wajah ketiga sahabatnya mulai terpancar. Mereka bertiga spontan memeluk Queela.
            ”Queela maafkan kami” kata mereka bertiga dalam pelukan Queela.
            ” jangan menindih infusku!” teriak Queela.
            ” oops... maaf La” kata Cintya sambil melepaskan pelukan.
” La, kamu mau memaafkan kami kan?” tanya Tiara.
” Tentu, tapi kalian juga harus memaafkan ku.” kata Queela sambil memperlihatkan kalung dalam genggamannya.
” kau adalah sahabat terbaik yang pernah kami punya.” kata Cintya,Tiara, dan Veryna bebarengan, lalu memeluk Queela sekali lagi.
”itu kata-kata ku!” seru Queela, lalu mereka berempat tertawa bersama.
Ibu Queela menangis haru di depan pintu.
Di depan mataku ada persahabatan terbaik yang pernah aku jumpai. Sangat manis ... ya,Persahabatan semanis cokat. Kata ibu Queela dalam hati.