Berhubung bingung mau posting apa. dan berhubung buka file lama dan nemu ini. jadi aku posting ini aja :D cerpen pertamaku. masih kaku, jayus, dan belum banyak pilihan kata. chek this out!
Pagi itu cuaca cerah, awan
hitam tak sedikit pun berani mengganggu kerja matahari. Queela berlari di
koridor sekolah, rambutnya yang pangjang melambai ke kanan dan kiri. Setelah
belok kiri di salah satu pertigaan sampailah dia di ruang kelas VIIA. Saat
Queela masuk kelas sudah ramai. Dia berjalan menuju ke dekat tempat duduk
Tiara.
“ Baru dateng, Non?”
sapa Cintya.
“ Tumben telat?”
kata Veryna.
Sebelum sampai,
mereka bersenda gurau terdengar sura bel yang sangat keras dan mencengkam. Sura
yang cempreng dapat memekakkan
telinga. Para siswa berhamburan ke tempat duduk masing-masing. Tak terkecuali
Queela dan teman-temannya.
Tak beberapa
lama seorang guru masuk dengan langkah kaki yang keras.
“
Hari ini ada ulangan harian!” kata ibu Dyana, guru matematika
“
Aaaaaaa!”teriak anak anak spontan
“stt,,,
diam, diam!!!” kata bu Dyana sambil memukul mukulkan tongkat kayu yang sudah
terlihat seperti ratusan tahun lamanya. Mungkin, tongkat itu dulu milik nenek
dari nenek, nenek, nenek,neneknya ibu Dyana.
“Queela,
maju ke depan!” teriak ibu Dyana
Dengan
langkah mantap Queela maju ke depan kelas.
”
bagikan ini!” kata ibu Dyana ketus.
Setelah Queela menerima soal dari
ibu Dyana dia membagikan ke seluruh teman kelasnya. Kini kelas menjadi sunyi,
hanya ada suara gesekan antara kertas dan pensil. Atau mungkin sesekali
terdengar suara orang yang menggaruk garuk kepala.
Dua
jam pelajaran berlalu, bel yang cempreng
kembali terdengar. Para murid berhamburan keluar menuju kantin. Queela
mengeluarkan novel terbarunya. Lalu membaca kata demi kata yang ditulis oleh si
penulis.
”
kamu nggak beli makanan La?” tanya Tiara. Queela diam saja.
”La!”
kata Cintya sambil menyenggol Queela.
”
apaan sih? Jangan ganggu ah!” kata Queela.
”
nie anak kalau udah baca nggak bisa di ganggu deh.” kata Veryna.
”udah
tau nggak bisa di ganggu masih juga di ganggu.”kata Queela.
”La
aku punya kejutan buat kamu” Kata Tiara
”
apa?” tanya Queela tanpa menoleh.
Tiba-tiba
sebuah kalung dengan liotin seperempat lingkaran menggantung di depan mata Queela.
Kalung berwarna biru dengan huruf Q itu sangat mengagetkan Queela.
”
kalung?” tanya Queela terheran heran.
”
kalung ini adalah tanda persahabatan kita.” kata Cintya.
”ini
bukan hanya sembarang kalung”kata Tiara.
”
kalung ini ada maknanya lho La!” kata Veryna.
”
Huruf-huruf di tengahnya menandakan anggotanya” kata Cintya.
”
kalung ini jika di satukan aka membentuk lingkaran.” kata Veryna.
”
lingakaran itu tak berawal dan tak berakhir, seperti persahabatan kita, tak
berawal, tak berakhir.” lajut Tiara.
Dengan
senyum bahagia yang menghiasi wajahnya Queela memeluk ketiga sahabatnya. Ari
mata haru mengalir deras membasahi wajah cantik Queela.
”
kalian adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya.” bisik Queela.
”
usap air mata mu, sebelum bel masuk!” kata Tiara setelah melepas pelukan.
Esok
paginya matahari bersinar cerah, Queela ada janji dengan teman-temannya untuk
pergi ke taman. Stelah ia menghabiskan roti selai cokaltnya ia bepamitan dengan
ibunya.
”
ma, Queela pergi ya.” kata Queela sambil mencium tangan ibunya.
”
mau ke mana?” tanya ibunya.
”
ke taman.” jawab Queela.
”
hati-hati ya!” pesan ibunya.
”
pasti,,, oh ya nanti ke rumah Cintya bentar ” teriak Queela sambil berlari
keluar. Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah laku Queela.
Queela
terus berlari sampai ke taman. Di sana ketiga temannya sudah menunggu. Dia
sangat besemangat untuk bertemu ketiga temannya. Dia menambah kecepatannya dan
akhirnya jatuh terjerembab di rumput. Ketiga temannya berlari membantunya
bediri.
”
kamu masih mengantuk ya La? ” goda Cintya.
”
apaan sih Cin?” kata Queela. Pipinya memerah menahan malu. Untung hanya mereka
bertiga yang ada di taman itu. Kalau ada banyak orang mau di taruh di mana muka
Queela.
”
kamu nggak papa kan La?” tanya Tiara.
”ah
nggak papa.” jawab Queela
Lalu
mereka duduk di sebuah tempat duduk
panjang. Mereka bersenda gurau bersama. Setelah beberapa lama bersenda gurau,
” La, kalung mu kok nggak di pakai?’” periksa
Cintya.
”
apa maksud mu Cin?” tanya Queela balik. Dia meraba lehernya, terus di raba-raba.
Deg tanpa di sadarinya kalungnya tak
menggantung lagi di leher Queela. Air matanya menggenang di pelupuk mata.
”
La, aku nggak percaya kamu menghilangkan barang se penting itu.” kata Tiara
”
apa kamu sudah tak menganggap persahabatan kita lagi La?” tambah Veryna.
”
bukan maksud ku seperti itu” jawab Queela. Air matanya kini sudah mengalir
pelan sampai di lehernya.
”
aku kecewa sama kamu La.” kata Tiara sambil melangkah pergi diikuti Veryna.
Sebelum Cintya ikut-ikutan pergi ia melihat tangisan Queela, dia meneteskan air
mata lalu pergi meninggalkan Queela seorang diri.
Queela
bertekad untuk tak pulang sebelum menemukan kalung itu. Dia terus mengelilingi taman itu. Sudah satu jam, tapi
kalung itu belum juga di temukan. Awan yang tadinya cerah sekarang berubah
menjadi hitam. Kilat menyambar-nyambar. Suasana menjadi gelap dan mengerikan.
Hujan turun dengan sangat deras. Queela tak menyerah, ia berlarian
kesana-kemari berusaha menemukan kalung itu.
Setelah Queela
berlarian dibawah derasnya air hujan penglihatannya mulai berkurang, tanah yang
di pijaknya seperti berputar-putar. Tapi, dia tak menyerah, dia terus mencari.
Sampai akhirnya dia menemukan seberkas cahaya biru, dia tahu apa yang ia cari telah di temukan. Ia menemukan kalung itu tepat dimana saat ia
jatuh. Queela mengambilnya, saat kalung itu di genggaman tangannya, dia tak
dapat melihat apa-apa dan akhirnya dia jatuh pingsan di bawah derasnya air
hujan.
”
apa? Queela kritis?” tanya ibu Queela saat di rumah sakit.
Mendengar
kata-kata ibu Queela, air mata Tiara, Veryna, dan Cintya tak dapat di bendung
lagi, mereka merasa bersalah. Ibu Queela masuk dengan cepat melihat keadaan
putrinya.
”
ini semua salahku,” kata Tiara sesegukan.
”
tapi, ini salah ku juga.” lanjut Veryna.
”
tidak,ini semua salahku. Seharusnya aku tak meninggalkan Queela waktu itu.”ucap
Cintya.
”Queela!”
Tiara masuk ke kamar Queela di ikuti Cintya, dan Veryna.
Ibu
Queela tahu kedatangan mereka bertiga, beliau keluar sambil mengatakan
”
kalian pasti lebih bisa membuat Queela bangun, jagalah dia, saya mau pergi
sebentar.” Mereka bertiga menghampiri
Queela.
”
La, jangan seperti ini! Maaf kan aku!” kata Tiara.
”
La, kita bertiga sangat menyesal atas kejadian di taman itu, maaf kan kami La!”
tambah Cintya.
”Kami
akan menynyikan lagu kesukaan mu, tapi bangun lah!” Kata Veryna.
Idaero
doraseol geomyeon sarajil geomyeon
pieonaji
anhasseo
ireoke
barabomyeonseo sumi makhimyeon
nuneul
gameun chae sarado joheulkka
boji
anhado boyeoseo
deutji
anhado deullyeoseo
geudae
sumgyeore dasi saranan baramkkoccheoreom
gago sipeodo mot ganeu
ango sipeodo mot anneun
ango sipeodo mot anneun
geudae
sonkkeuchi nae mame daheuni
Queela menangis dalam
bawah sadarnya mendengar lagu Korea kesukaannya itu di lantunkan. Sedikit demi
sedikit matanya mulai terbuka. Dia mengedip-ngedipkan mata untuk menyesuaikan
matanya. Senyum lebar dari wajah ketiga sahabatnya mulai terpancar. Mereka
bertiga spontan memeluk Queela.
”Queela maafkan kami” kata
mereka bertiga dalam pelukan Queela.
” jangan menindih
infusku!” teriak Queela.
” oops... maaf La” kata
Cintya sambil melepaskan pelukan.
” La, kamu mau memaafkan kami kan?” tanya Tiara.
” Tentu, tapi kalian juga harus memaafkan ku.”
kata Queela sambil memperlihatkan kalung dalam genggamannya.
” kau adalah sahabat terbaik yang pernah kami
punya.” kata Cintya,Tiara, dan Veryna bebarengan, lalu memeluk Queela sekali
lagi.
Ibu Queela menangis haru di depan pintu.
Di
depan mataku ada persahabatan terbaik yang pernah aku jumpai. Sangat manis ...
ya,Persahabatan semanis cokat. Kata ibu Queela dalam hati.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar