posted by http://elmy2505.blogspot.com/2010/12/dandelion.html
Inget bunga dandelion inget I Bugs Life. Potongan bunga dandelion jadi alat terbang si semut untuk menyeberangi gurun (padahal sebenernya danau kering).
Cara paling asik adalah meniupkan udara ke bunga dandelion dan Voila bagian-bagian bunga dandelion bertebaran di udara dengan cantiknya. Bak salju yang terbuat dari bunga.
Ternyata bunga dandelion juga punya manfaat sebagai bahan obat alami dan sudah banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Akar, daun, dan bunganya bisa dijadikan obat herbal.
Bunganya, selain sering dikonsumsi juga sering digunakan sebagai
campuran minuman. Bagian daun dan akarnya bisa digunakan untuk mencegah penyakit gangguan pencernaan.
Dandelion
hijau juga sering digunakan sebagai bahan obat diuretik, yaitu
memperlancar buang air kecil. Dandelion bisa membantu menurunkan tekanan
darah dan melancarkan buang air kecil.
Akar dandelion mengandung inulin dan levulin yang berfungsi untuk
menyeimbangkan kadar gula dalam darah. Rasanya memang sangat pahit, tetapi khasiatnya dapat melancarkan aliran empedu dari hati. Selain itu, akarnya juga mengandung cholin, yang sangat baik bagi organ hati.
Fungsi lainnya adalah sebagai detoksifikasi atau pembersih usus besar. Sedangkan, untuk bagian daunnya, memiliki kandungan mineral, kalcium, vitamin A, C, K, dan B2 (riboflavin).
Dandelion juga bermanfaat untuk mencegah penyakit liver. Karena,
kandungan dalam dandelion itu berfungsi seperti filter, yang menyaring racun-racun dalam darah.
Jika
liver bermasalah akan banyak penyakit yang akan muncul. Seperti
sembelit, kulit kasar, jerawat, dan perut kembung, sakit kepala dan PMS.
Saya Punya kekurangan, memang. Namun, saya juga memiliki kelebihan. dan jangan salahkan saya jika kalian yang tidak bisa melihatnya.
Sabtu, 24 November 2012
Kamis, 22 November 2012
Tak Ingin merindu
Senja telah tumbang, langit semburat kemerahan. air kembali menetes dari langit yang mulai gelap. satu-persatu ingatkan kembali pada rindu yang tak ingin ku kenang.
Tiga bulan lalu, saat semuanya terasa begitu indah. saat senyumnya tak pernah absen untuk hadir temani langkah kecil yang penuh keraguan. saat kisah pedih tak terasa dalam tuntunannya. Tiga bulan lalu, saat dia yang menuntunku untuk mulai menyukai apa yang aku benci. saat dia ajarkan aku hal-hal yang sama sekali tak ku mengerti.
Tiga bulan lalu, saat namanya berputar dalam hari-hari sepiku. saat semuanya begitu lancar dalam rotasinya. saat semua mudah saja dilewati. Tiga bulan lalu, saat dengan sentuhan magis yang ia tularkan lewat tanggannya yang mampu membangunkan semangatku dalam keterpurukan.
iya, itu kan tiga bulan lalu
sekarang sudah bulan november. bola kehidupan ku menggelinding begitu kilat. tak menyangka kenangan manis bersama dia begitu cepat terlewati. kini sosoknya tinggal siluet semu saja. haha. . . mungkin dia lelah, atau punya hal yang lebih penting daripada mengurusi adik kecilnya yang tidak penting, atau apalah namanya.
satu lagi air hujan jatuh menetes di wajahku. bintang enggan bersinar
kini, tak ada si kakak dan si adik yang begitu dekat. aku tak ingin menangis, dan kisah ini memang tidak untuk di tangisi. butuh tekad kuat memang, tapi aku bisa kok, aku sanggup. tersenyum samar dalam gelapnya malam.
terbesit namanya dalam kesunyian di temani rintik hujan yang terangkai dalam melodi. satu kata mengandung magis yang begitu kuat. rindu kembali menggebu terpilin dalam udara menembus dinginnya malam. Tuhan, aku tak ingin merindu, sungguh. bagiku itu menjadi semacam bencana
Hahaha, bagaimana rindu bisa menjadi bencana??? yaa. . . saat orang yang kita rindukan itu terlewat acuh, sakit bukan? begitu lah.
Sekarang bahkan aku punya aktivitas baru. kirim salam lewat radio. ahh. . . bodoh, kan si kakak nggak pernah dengerih. hahaha, perduli apa? yang pasti aku udah kirim salam buat si Kakak
Kakak, bagaimana kau tau aku begitu merindu tanpa aku harus mengatakan secara frontal???
#Ceilaaaa Curcol niiih
Tiga bulan lalu, saat semuanya terasa begitu indah. saat senyumnya tak pernah absen untuk hadir temani langkah kecil yang penuh keraguan. saat kisah pedih tak terasa dalam tuntunannya. Tiga bulan lalu, saat dia yang menuntunku untuk mulai menyukai apa yang aku benci. saat dia ajarkan aku hal-hal yang sama sekali tak ku mengerti.
Tiga bulan lalu, saat namanya berputar dalam hari-hari sepiku. saat semuanya begitu lancar dalam rotasinya. saat semua mudah saja dilewati. Tiga bulan lalu, saat dengan sentuhan magis yang ia tularkan lewat tanggannya yang mampu membangunkan semangatku dalam keterpurukan.
iya, itu kan tiga bulan lalu
sekarang sudah bulan november. bola kehidupan ku menggelinding begitu kilat. tak menyangka kenangan manis bersama dia begitu cepat terlewati. kini sosoknya tinggal siluet semu saja. haha. . . mungkin dia lelah, atau punya hal yang lebih penting daripada mengurusi adik kecilnya yang tidak penting, atau apalah namanya.
satu lagi air hujan jatuh menetes di wajahku. bintang enggan bersinar
kini, tak ada si kakak dan si adik yang begitu dekat. aku tak ingin menangis, dan kisah ini memang tidak untuk di tangisi. butuh tekad kuat memang, tapi aku bisa kok, aku sanggup. tersenyum samar dalam gelapnya malam.
terbesit namanya dalam kesunyian di temani rintik hujan yang terangkai dalam melodi. satu kata mengandung magis yang begitu kuat. rindu kembali menggebu terpilin dalam udara menembus dinginnya malam. Tuhan, aku tak ingin merindu, sungguh. bagiku itu menjadi semacam bencana
Hahaha, bagaimana rindu bisa menjadi bencana??? yaa. . . saat orang yang kita rindukan itu terlewat acuh, sakit bukan? begitu lah.
Sekarang bahkan aku punya aktivitas baru. kirim salam lewat radio. ahh. . . bodoh, kan si kakak nggak pernah dengerih. hahaha, perduli apa? yang pasti aku udah kirim salam buat si Kakak
Kakak, bagaimana kau tau aku begitu merindu tanpa aku harus mengatakan secara frontal???
#Ceilaaaa Curcol niiih
Kenapa Bukan Aku?
Kenapa Tuhan kasih berbeda?
Kenapa tulisan-tulisan indah itu terlahir dari tangan mereka? kenapa bukan dari tangan ku?
Kenapa Suara merdu penyusun melodi itu meluncur dari bibir mereka? bukan bibir ku?
Kenapa mereka yang menjadi terbaik dari yang baik? bukan aku?
Kenapa mereka yang mendapat sorotan? bukan aku?
Kenapa mereka mendapat kasih sayang itu, sedang aku tidak?
Begitu banyak kenapa, begitu banyak protes, terlalu sering minta ini itu. yaa. . . terkadang, entah sadar atau tidak itu yang ada dalam benak saya. telalu kekanak-kanakan, bisa dibilang. seperti bayi kecil yang hanya diberi coklat satu sedang temannya mendapat dua.
iri tiu penyakit hati, saya tahu. tapi entah mengapa Tuhan sering membuat saya tak mampu menghindarinya. terlalu lemah. sungguh, saya tak ingin terus begitu. saya faham, sadar atau tidak ada sisi diri saya yang jauh lebih baik dari mereka. tapi dengan bodohnya, saya megakui, saya belum mampu bersyukur dengan baik.
tertatih saya mencoba menghirdari kata itu. sesempat mungkin saya selipkan dalam setiap doa sehbais shalat, "Tuhan, hindarkanlah hamba dari perasaan iri". Sulit memang, perlu banyak waktu dan perasaan pun masih sering ikut campur. bagaimana tidak? kalau sahabat-sahabat dekat saya terlewat sempurna di mata saya dan saya tidak memilikinya? betapa tidak menyakitkan?
Tapi saya yakin dan saya percaya, Tuhan kasih jalan lain bagi saya untuk menempuh kata 'Syukur'. bukan saat ini, tapi di waktu lain, waktu yang paling tepat.
GJ? mian :D
Kenapa tulisan-tulisan indah itu terlahir dari tangan mereka? kenapa bukan dari tangan ku?
Kenapa Suara merdu penyusun melodi itu meluncur dari bibir mereka? bukan bibir ku?
Kenapa mereka yang menjadi terbaik dari yang baik? bukan aku?
Kenapa mereka yang mendapat sorotan? bukan aku?
Kenapa mereka mendapat kasih sayang itu, sedang aku tidak?
Begitu banyak kenapa, begitu banyak protes, terlalu sering minta ini itu. yaa. . . terkadang, entah sadar atau tidak itu yang ada dalam benak saya. telalu kekanak-kanakan, bisa dibilang. seperti bayi kecil yang hanya diberi coklat satu sedang temannya mendapat dua.
iri tiu penyakit hati, saya tahu. tapi entah mengapa Tuhan sering membuat saya tak mampu menghindarinya. terlalu lemah. sungguh, saya tak ingin terus begitu. saya faham, sadar atau tidak ada sisi diri saya yang jauh lebih baik dari mereka. tapi dengan bodohnya, saya megakui, saya belum mampu bersyukur dengan baik.
tertatih saya mencoba menghirdari kata itu. sesempat mungkin saya selipkan dalam setiap doa sehbais shalat, "Tuhan, hindarkanlah hamba dari perasaan iri". Sulit memang, perlu banyak waktu dan perasaan pun masih sering ikut campur. bagaimana tidak? kalau sahabat-sahabat dekat saya terlewat sempurna di mata saya dan saya tidak memilikinya? betapa tidak menyakitkan?
Tapi saya yakin dan saya percaya, Tuhan kasih jalan lain bagi saya untuk menempuh kata 'Syukur'. bukan saat ini, tapi di waktu lain, waktu yang paling tepat.
GJ? mian :D
Senin, 19 November 2012
Janji Yang Pergi
Dia berharap senyumnya bisa menghapuskan segala kesedihanku yang dulu-dulu
Dia ingin menyanyangiku seperti Tuhan menyayangi mahkluknya
Dia ingin berbagi denganku seperti bintang berbagi dengan bulan
Dia ingin mewarnai hari-hariku seperti pelngi menerangi angkasa sehabis hujan
Dia ingin menjagaku,
Janji itu. . . terasa begitu dekat, terasa begitu nyata. sampai seperti bisa ku sentuh. Terasa begitu manis menyatu dengan angan dan pengharapan yang melambung.
Janji itu. . . janji yang dulu ku agungkan, yang selalu kujadikan pegangan saat sosoknya tak mampu hadir. janji yang terus memberiku semangat saat aku jatuh dan terperosok.
Janji itu. . . yang begitu anggun menghias hari-hari kelamku bagai bintang yang memberiku kepercayaan bahwa sosok itu akan tetap hadir. bagai lentera yang sinari gelapnya malam.
Namun. . . . Janji itu. . . kini tinggal kata-kata. tak berbekas sedikitpun, janji yang begitu ku tunggu nyatanya dalam kisahku. kini rangkaian kalimat itu telah pergi bersama sososk Dia seperti embun pagi yang begitu bening, yang tersapu mentari
Dia ingin menyanyangiku seperti Tuhan menyayangi mahkluknya
Dia ingin berbagi denganku seperti bintang berbagi dengan bulan
Dia ingin mewarnai hari-hariku seperti pelngi menerangi angkasa sehabis hujan
Dia ingin menjagaku,
Janji itu. . . terasa begitu dekat, terasa begitu nyata. sampai seperti bisa ku sentuh. Terasa begitu manis menyatu dengan angan dan pengharapan yang melambung.
Janji itu. . . janji yang dulu ku agungkan, yang selalu kujadikan pegangan saat sosoknya tak mampu hadir. janji yang terus memberiku semangat saat aku jatuh dan terperosok.
Janji itu. . . yang begitu anggun menghias hari-hari kelamku bagai bintang yang memberiku kepercayaan bahwa sosok itu akan tetap hadir. bagai lentera yang sinari gelapnya malam.
Namun. . . . Janji itu. . . kini tinggal kata-kata. tak berbekas sedikitpun, janji yang begitu ku tunggu nyatanya dalam kisahku. kini rangkaian kalimat itu telah pergi bersama sososk Dia seperti embun pagi yang begitu bening, yang tersapu mentari
Minggu, 18 November 2012
Senyum Pembawa Bahagia
Matahari mulai bersinar menembus renda putih yang tergantung di jendela
kamarku. Terdengar beberapa burung berkicau merdu diantara dahan pohon. Aku
membuka mata, jam di meja menunjukkan pukul lima pagi.
Dengan masih berbalut
gaun tidur dan selendang merah muda, aku berjalan menuju balkon dan berdiri di
sana. Menikmati sisa angin malam, menatap jutaan bintang yang belum bosan
menghiasi langit. Memandang embun yang menetes dari daun ke daun.
Perlahan-lahan matahari mulai meninggi. Langit
yang tadinya hitam dan gelap mulai kemerah-merahan. Anak-anak yang tadinya
masih terlelap dalam tidurnya kini mulai berlarian sambil terkantuk-kantuk,
sesekali tersandung lalu tertawa bersama teman-teman sepermainannya.
Aku tersenyum hambar, mendapati betapa pilu
hidupku. Memiliki orang tua kaya raya, harta berceceran dimana-mana, dihormati
siapa saja, namun putrinya tak mendapat cukup kasih sayang. Bahkan hanya satu
orang sahabat teman bercerita pun tidak.
“Tuan Putri, apa yang anda lakukan? Air
hangat untuk mandi dan gaun telah saya siapkan” ujar seorang pelayan wanita
berseragam dengan hati-hati. Aku hanya menjawab dengan satu anggukan kecil lalu
melangkah menerima handuk biru yang disodorkannya.
Setelah selesai mandi, aku mengenakan gaun
ungu selutut dengan hiasan pita di bagian pundaknya. Jepit rambut bunga
menggulung sebagian rambutku dan sepatu ungu transparan menghiasi kakiku.
Dengan diiringi beberapa pelayan aku berjalan
menuju ruang makan untuk sarapan. beginilah hidupku, menjadi putri seorang
pengusaha besar yang super sibuk. Orang-orang si luar sana selalu bilang aku
bahagia tak terukur. Namun jauh di balik itu, aku terlewat kesepian, bahkan tak
ada teman makan diseberang meja untuk sarapan. Kehidupanku hanya monoton dan
itu-itu saja.
“Tuan Putri, apa yang akan anda lakukan di
pagi secerah ini?” tanya seorang pelayan yang bahkan namanyapun tak ku ingat.
“Bagaimana menurutmu?” aku berbalik
menanyainya.
“Bagaimana bila kita jalan-jalan ke taman,
yang mulia? Bunga-bunga sedang bermekaran. Anda pasti suka,” Ujarnya.
“Itu bukan hal buruk,” jawabku singkat.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak kecil
berbatu putih, sepatuku berbunyi teratur megiringi setiap langkahku.
Dibelakangku, delapan orang dengan pakaian sama berbaris mengiringi
perjalananku. Rumah super besar milik orang tuaku memang dipenuhi puluhan
pekerja. Tapi tak seorangpun yang mampu berperan menjadi sahabat.
Aku hanya duduk sendiri di bangku taman,
ratusan bunga bermekaran seperti berlomba-lomba memamerkan kecantikannya.
Kupu-kupu terbang bersama dengan keceriaan mereka. Aku iri, bunga-bunga itu
tumbuh bersama, memiliki cerita bersama. Kupu-kupu itu terbang bersama,
kemana-mana bersama, berbagi cerita bersama. Namun aku? Aku tumbuh tanpa kasih
sayang! Aku hampir saja pergi karena putus asa sampai tersdengar suara
menghentikanku.
“Apa yang dilakukan nona cantik di taman
sendirian?” seorang ibu-ibu gendut mengenakan gaun hijau pucat, rambutnya yang
pirang terpilin diikat di bagian kiri. Gaunnya panjang menyentuh lantai. Dia
berjalan mendekatiku.
“Bahagia jika ada seseorang menemaniku
disini,” jawabku pelan. Ibu-ibu gendut tadi duduk disebelahku sambil memasang
senyum sejuta bintang.
“Bahagiakah jika orang itu aku?” tanyanya.
“Siapapun,”
“Apa yang membuatmu menginginkan seorang sahabat, sayang?”
“Apa yang membuatmu menginginkan seorang sahabat, sayang?”
“Dari mana anda tahu?” tanyaku.
“Tahu kah kau bahwa aku seorang kepala koki?”
aku menggeleng. Dia tersenyum, “mengapa kau butuh sesosok orang menemanimu?”
dia betrtanya lagi.
“Aku ingin ada tempat berbagi cerita, ingin
ada orang yang memberiku kasih sayang, ingin ada orang yang menganggapku ada,
aku ingin ada orang yang pengertian padaku, ingin puya teman untuk berjalan
bersama, aku. . . aku. . .” aku terdiam sebentar, “ingin diperhatikan”
Dia
tersenyum lagi, “Sayang, lihat lah kupu-kupu itu, mereka terbang bersama
dan tertawa riang bersama. Sekarang, bagai mana jika kau balik alasanmu? ‘aku
ingin punya sahabat agar aku ada untuk mendengarkan ceritanya’, ‘aku ingin
punya sahabat agar aku bisa bermanfaaf untuknya’, ‘aku ingin punya sahabat
untuk mengukir senyum di wajahnya’, ‘agar aku bisa memberi pundak saat dia
ingin menangis’. Simpelnya, bukan untuk mencari bahagia, tapi membagi bahagia
yang kau miliki untuk orang lain, sayang.” Aku tertegun, seakan tersadar akan
sesuatu. Air mataku mengalir tetes demi tetes. Betapa egois diri ini.
§§§
Tanah
ini sangat kering. Manusia-manusia bertubuh kurus tak berdaging berjalan di
setiap sudut desa. Sungainya mengalir sangat pelan penuh dengan sampah.
Penyakit merebak di sana-sini. Rintihan-rintihan dari anak-anak yang kelaparan terdengar
sayup-sayup. Gaun biruku menyapu jalanan gersang dan menjadi kotor. Aku tak
perduli. Tekatku hanya untuk mengubah daerah menyedihkan ini. memberi mereka
bahagia.
Kardus-kardus
makanan mulai di turunkan dari truk . Anak-anak kecil berkulit hitam tanpa alas
kaki berlarian mengerubungiku. Tangan kecil kurus mereka terjulur meminta. Betapa iba diriku melihat mereka masih
bertahan hidup dalam kesusahan luar biasa.
Semua
makanan dan bantuan telah di bagi rata. Anak-anak makan dengan sangat lahap.
Senyum-senyum yang tadi hanya bayangan kini tercetak jelas. Orang tua yang
giginya ompong terus tersenyum memandangi anak mereka yang makan dengan lahap.
“Nona-nona,
apakah anda bidadari?” tanya seorang anak yang makananannya sudah habis. Aku
tersenyum lebar. Kebahagiaan mulai mengisi ruang hatiku yang kosong.
“Apa
itu bidadari?” tanyaku dengan wajah penasaran.
“Dia
adalah pembawa kebahagiaan.” Aku tersenyum lagi.
“Saya
bukan bidadari anak manis, tapi saya akan datang lagi esok untuk membawa buku
cerita”
Anak-anak
berkulit hitam itu bersorak sorak gembira. Yang lainnya mulai mengerubungiku
untuk bertanya ini-itu. Kini aku tak kesepian lagi. Bukan karena mereka
memberiku bahagia. Namun kebahagiaan mereka yang membuatku bahagia.
Aku
mulai membantu daerah-daerah lain yang memprihatinkan. Dari satu desa ke desa
lain. Mencari teman yang bisa dibahagiakan. Memberi manfaat untuk orang lain.
Karena senyum mereka adalah bahagiaku. Kadang-kadang aku menengok ibu-ibu
gendut si kepala koki. Dia adalah ibuku. Satu-satunya orag yang memanggilku
‘Sayang’, sekaligus sahabat sejatiku.
Terbang ke Langit
Oleh: Ayu Kusumastuti
“klik, klok, klik, klok,” suara jam
dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku menguap lebar sambil membuka
halaman baru, buku pelajaran yang sedang asyik kubaca.
Jendela
kamar dengan gorden berwarna merah jambu itu, masih terbuka lebar dan meniupkan
lembutnya angin yang dingin. Kulihat para bintang menghiasi langit malam yang
tampak mungil dari kejauhan. Mereka memperlihatkan cahaya mereka, bagaikan
berlian yang berjajar menemani sang bulan yang tersenyum. Aku menghembuskan
nafas lega, merasakan suasana malam yang begitu damai.
Aku melangkahkan kakiku, beranjak dari
tempat membaca buku menuju jendela kamar. Sebenarnya, pemandangan langit yang
mempesona membuatku tak ingin buru-buru menghilangkan kesempatan untuk terus
memandangnya. Sayangnya, waktu telah larut dan esok hari aku harus mulai
berjuang lagi. Memegang pena, menuliskan kata-kata di atas kertas, dan berpikir
bagaimana aku dapat menjawab segala pertanyaan yang menantang adalah sesuatu
yang tak asing lagi kulakukan. Aku melakukan semua ini, karena aku menantikan
kebahagiaan pada suatu hari. Aku berdoa dengan segala ketulusan hati, menunggu
jawab-Nya. Aku ingin membuat ayah dan ibu bahagia. Berharap, aku dapat
menggantikan sedikit keletihan mereka.
Saat aku hendak menutup jendela kamar
dengan kedua tanganku, badanku terasa sangat ringan. Lama-kelamaan, aku melihat
kakiku yang tanpa sadar tak lagi menapak di atas lantai. Anehnya, aku dapat
mengendalikan tubuhku ke arah manapun. Aku sangat terkejut atas apa yang sedang
terjadi.
Jendela yang terbuka lebar menjadi
pintu keajaiban akan sesuatu yang belum pernah aku alami. Aku terbang melalui
jendela kamar dan melihat pemandangan malam sekitar. Rambutku melambai ke arah
belakang seperti aku sedang berlari di daratan. Aku sadar bahwa aku benar-benar
terbang.
Tiba-tiba ayunan yang menggantung pada
sebuah tangkai pohon di halaman rumahku terlepas dengan sendirinya. Aku sangat
memperhatikan benda tersebut yang terbang mendekatiku. Lalu, aku duduk di atas
ayunan dan terbang bersamaku. Aku memegang tangkai ayunan begitu erat. Ayunan
itu membawaku terbang semakin cepat, lama-kelamaan lebih tinggi daripada tempat
sebelumnya. Ayunan membawaku pergi sampai ke langit dan berhenti dengan
sendirinya. Tiba-tiba bintang kecil mendekatiku secara perlahan dan berkata
kepadaku.
“Hai, gadis kecil. Siapa namamu?”
bintang yang bersinar paling terang itu, bertanya kepadaku.
“Ak…ak…aku Maggy… wahai bintang, apakah
kau tahu? Mengapa aku dapat terbang ke langit dan bertemu denganmu?” aku
bertanya dengan sedikit tertatih dan penuh keseriusan.
“Maggy yang manis, kau adalah anak yang
rajin. Bahkan, ketika orang lain tertidur kau melakukan sesuatu yang luar
biasa. Kau mewarnai malam hari dengan setumpuk buku yang kau baca,” bintang itu
menjelaskan dengan sinarnya yang semakin terang, “sekarang kau mengerti kan
anak manis? Kau berada di sini karena kau telah menjalankan kewajibanmu dengan
penuh tanggung jawab. Sehingga kamu dapat mencapai langit yang tertinggi dan
mendapatkan bintang yang bersinar paling terang. ”
Bintang itu tersenyum kemudian pergi
melintasi langit dan meninggalkan cahaya menyerupai lilin-lilin kecil, lalu
berada di sekelilingku. Cahaya itu menerangi kegelapan yang pekat. Ayunan
tempat dimana aku duduk, terbang menuju ke bawah dan seterusnya hingga aku
melihat rumahku yang mungil dari kejauhan.
Cahaya itu berhenti tepat di atas
jendela kamar. Ayunan yang baru saja melintasi malam bersamaku mengikuti kemana
arah cahaya itu pergi. Aku berada di dalam kamar dan melihat malam yang kian
berseri diiringi oleh terangnya cahaya bulan dan bintang.
Aku tak dapat lagi mengendalikan tubuhku,
kemana aku akan terbang. Tiba-tiba ragaku melayang ke sana-ke mari tanpa arah
yang jelas, hingga aku terjatuh dan menjerit kesakitan.
Aku melihat ruangan kamar dengan gorden
yang melambai-lambai tertiup angin dan jendela kamarku masih terbuka lebar.
Terdengar suara hentakan langkah kaki dan mengetuk pintu kamar lalu membukanya
secara perlahan. Aku melihat wajah ibu yang panik, sedangkan aku bingung dengan
apa yang sedang terjadi.
“Kamu tak apa-apa Maggy? Mengapa kamu
berteriak? Dan mengapa kamu berada di atas lantai, sayang? “ Ibu menatapku
dengan kerutan di dahinya tampak begitu jelas.
Kini aku sadar bahwa aku telah
bermimpi. Lalu, aku terjatuh dari tempat tidur sehingga aku menjerit. Sehingga,
ibu datang dan menanyakan apa yang sedang terjadi kepadaku. Sedangkan aku
berada dalam kebingungan akan apa yang sebenarnya terjadi.
Aku tertawa. Ibu terlihat cemas dan
bingung, lalu tertawa kemudian. Aku menceritakan semua yang telah terjadi dan
bertanya kepadanya apa arti dari mimpiku. Ibu mengelus keningku dan menatapku.
Ibu berkata bahwa setiap orang yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan sesuatu
yang ia inginkan. Aku mengangguk-anggukan kepalaku.
Ibu menyelimutiku dengan selimut tebal
yang hangat, mencium dahiku dan tersenyum kepadaku. Akupun membalas
senyumannya. Ia mematikan lampu kemudian meninggalkanku, menutup pintu kamar
secara perlahan.
Aku menghadap jendela yang tidak
ditutupi gorden dan melihat bulan dan bintang tersenyum riang mengiringi malam
yang panjang. Perlahan, aku menutup mataku. Perasaanku bahagia atas pelajaran
yang kudapatkan pada hari ini.
Selamat ulang tahun, Sahabat
Kasihmu telah terbit sebelum
matahari sempat menyingsing. Membasuh jiwa dengan embun yang hadir di pelupuk
matamu. Menghadirkan gejolak semangat sambut pagi yang mempesona. Belai lembutmu
yang tiada kenal lelah bagai kasih seorang bunda yang mendekap putri mungil
dalam gendongannya. Yang senantiasa mengalir meski putri kecilnya yang nakal
meggeliat dan menendang-nendang. Tersenyum. kau tetap hadirkan senyum meski
pahit getirnya hidup menubrukmu, sesekali mencoba hentikan alunan kasih sucimu.
Kau tak perduli. Bagimu hanya senyumku yang terpenting. Entah narsis atau
tidak, itu yang aku tau. Dan kurasa memang begitu. Maaf jika sikap acuhku
kadang menyayat jiwa lembutmu.
HAPPY BIRTHDAY
Di usiamu yang 15 ini, semoga kasih sayang itu tak pernah
luntur, meski terkadang sikap acuhku yang kian buruk masih sering muncul
Langganan:
Komentar (Atom)