Minggu, 18 November 2012

Senyum Pembawa Bahagia



            Matahari mulai bersinar menembus renda putih yang tergantung di jendela kamarku. Terdengar beberapa burung berkicau merdu diantara dahan pohon. Aku membuka mata, jam di meja menunjukkan pukul lima pagi.
            Dengan masih berbalut gaun tidur dan selendang merah muda, aku berjalan menuju balkon dan berdiri di sana. Menikmati sisa angin malam, menatap jutaan bintang yang belum bosan menghiasi langit. Memandang embun yang menetes dari daun ke daun.
 Perlahan-lahan matahari mulai meninggi. Langit yang tadinya hitam dan gelap mulai kemerah-merahan. Anak-anak yang tadinya masih terlelap dalam tidurnya kini mulai berlarian sambil terkantuk-kantuk, sesekali tersandung lalu tertawa bersama teman-teman sepermainannya.
Aku tersenyum hambar, mendapati betapa pilu hidupku. Memiliki orang tua kaya raya, harta berceceran dimana-mana, dihormati siapa saja, namun putrinya tak mendapat cukup kasih sayang. Bahkan hanya satu orang sahabat teman bercerita pun tidak.
“Tuan Putri, apa yang anda lakukan? Air hangat untuk mandi dan gaun telah saya siapkan” ujar seorang pelayan wanita berseragam dengan hati-hati. Aku hanya menjawab dengan satu anggukan kecil lalu melangkah menerima handuk biru yang disodorkannya.
Setelah selesai mandi, aku mengenakan gaun ungu selutut dengan hiasan pita di bagian pundaknya. Jepit rambut bunga menggulung sebagian rambutku dan sepatu ungu transparan menghiasi kakiku.
Dengan diiringi beberapa pelayan aku berjalan menuju ruang makan untuk sarapan. beginilah hidupku, menjadi putri seorang pengusaha besar yang super sibuk. Orang-orang si luar sana selalu bilang aku bahagia tak terukur. Namun jauh di balik itu, aku terlewat kesepian, bahkan tak ada teman makan diseberang meja untuk sarapan. Kehidupanku hanya monoton dan itu-itu saja.
“Tuan Putri, apa yang akan anda lakukan di pagi secerah ini?” tanya seorang pelayan yang bahkan namanyapun tak ku ingat.
“Bagaimana menurutmu?” aku berbalik menanyainya.
“Bagaimana bila kita jalan-jalan ke taman, yang mulia? Bunga-bunga sedang bermekaran. Anda pasti suka,” Ujarnya.
“Itu bukan hal buruk,” jawabku singkat.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak kecil berbatu putih, sepatuku berbunyi teratur megiringi setiap langkahku. Dibelakangku, delapan orang dengan pakaian sama berbaris mengiringi perjalananku. Rumah super besar milik orang tuaku memang dipenuhi puluhan pekerja. Tapi tak seorangpun yang mampu berperan menjadi sahabat.
Aku hanya duduk sendiri di bangku taman, ratusan bunga bermekaran seperti berlomba-lomba memamerkan kecantikannya. Kupu-kupu terbang bersama dengan keceriaan mereka. Aku iri, bunga-bunga itu tumbuh bersama, memiliki cerita bersama. Kupu-kupu itu terbang bersama, kemana-mana bersama, berbagi cerita bersama. Namun aku? Aku tumbuh tanpa kasih sayang! Aku hampir saja pergi karena putus asa sampai tersdengar suara menghentikanku.
“Apa yang dilakukan nona cantik di taman sendirian?” seorang ibu-ibu gendut mengenakan gaun hijau pucat, rambutnya yang pirang terpilin diikat di bagian kiri. Gaunnya panjang menyentuh lantai. Dia berjalan mendekatiku.
“Bahagia jika ada seseorang menemaniku disini,” jawabku pelan. Ibu-ibu gendut tadi duduk disebelahku sambil memasang senyum sejuta bintang.
“Bahagiakah jika orang itu aku?” tanyanya.
“Siapapun,”
            “Apa yang membuatmu menginginkan seorang sahabat, sayang?”
“Dari mana anda tahu?” tanyaku.
“Tahu kah kau bahwa aku seorang kepala koki?” aku menggeleng. Dia tersenyum, “mengapa kau butuh sesosok orang menemanimu?” dia betrtanya lagi.
“Aku ingin ada tempat berbagi cerita, ingin ada orang yang memberiku kasih sayang, ingin ada orang yang menganggapku ada, aku ingin ada orang yang pengertian padaku, ingin puya teman untuk berjalan bersama, aku. . . aku. . .” aku terdiam sebentar, “ingin diperhatikan”
Dia  tersenyum lagi, “Sayang, lihat lah kupu-kupu itu, mereka terbang bersama dan tertawa riang bersama. Sekarang, bagai mana jika kau balik alasanmu? ‘aku ingin punya sahabat agar aku ada untuk mendengarkan ceritanya’, ‘aku ingin punya sahabat agar aku bisa bermanfaaf untuknya’, ‘aku ingin punya sahabat untuk mengukir senyum di wajahnya’, ‘agar aku bisa memberi pundak saat dia ingin menangis’. Simpelnya, bukan untuk mencari bahagia, tapi membagi bahagia yang kau miliki untuk orang lain, sayang.” Aku tertegun, seakan tersadar akan sesuatu. Air mataku mengalir tetes demi tetes. Betapa egois diri ini.
§§§
Tanah ini sangat kering. Manusia-manusia bertubuh kurus tak berdaging berjalan di setiap sudut desa. Sungainya mengalir sangat pelan penuh dengan sampah. Penyakit merebak di sana-sini. Rintihan-rintihan dari anak-anak yang kelaparan terdengar sayup-sayup. Gaun biruku menyapu jalanan gersang dan menjadi kotor. Aku tak perduli. Tekatku hanya untuk mengubah daerah menyedihkan ini. memberi mereka bahagia.
Kardus-kardus makanan mulai di turunkan dari truk . Anak-anak kecil berkulit hitam tanpa alas kaki berlarian mengerubungiku. Tangan kecil kurus mereka terjulur meminta.  Betapa iba diriku melihat mereka masih bertahan hidup dalam kesusahan luar biasa.
Semua makanan dan bantuan telah di bagi rata. Anak-anak makan dengan sangat lahap. Senyum-senyum yang tadi hanya bayangan kini tercetak jelas. Orang tua yang giginya ompong terus tersenyum memandangi anak mereka yang makan dengan lahap.
“Nona-nona, apakah anda bidadari?” tanya seorang anak yang makananannya sudah habis. Aku tersenyum lebar. Kebahagiaan mulai mengisi ruang hatiku yang kosong.
“Apa itu bidadari?” tanyaku dengan wajah penasaran.
“Dia adalah pembawa kebahagiaan.” Aku tersenyum lagi.
“Saya bukan bidadari anak manis, tapi saya akan datang lagi esok untuk membawa buku cerita”
Anak-anak berkulit hitam itu bersorak sorak gembira. Yang lainnya mulai mengerubungiku untuk bertanya ini-itu. Kini aku tak kesepian lagi. Bukan karena mereka memberiku bahagia. Namun kebahagiaan mereka yang membuatku bahagia.
Aku mulai membantu daerah-daerah lain yang memprihatinkan. Dari satu desa ke desa lain. Mencari teman yang bisa dibahagiakan. Memberi manfaat untuk orang lain. Karena senyum mereka adalah bahagiaku. Kadang-kadang aku menengok ibu-ibu gendut si kepala koki. Dia adalah ibuku. Satu-satunya orag yang memanggilku ‘Sayang’, sekaligus sahabat sejatiku.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar