Aku tersenyum
lebar. Proses persalinanku berjalan dengan lancar. Dengan keringat yang mesih
mengucur disekitar pipiku, aku meraih tubuh bayiku yang diulurkan oleh seorang
perawat. Senyumku semakin melebar ketika
mendapati tubuh dalam dekapanku ini adalah seorang wanita. Gadis mungil dengan
mata bulat hitam, aku mengenali mata itu. Mata itu adalah mataku. Dia mewarisi
bagian tubuhku. Dengan perlahan kugenggam tangan mungil gadisku dengan penuh
kasih sayang.
Aku menyerahkan
malaikat kecilku kepada perawat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Suamiku yang sejak tadi menemani proses persalinanku mengecup keningku
berkali-kali sambil terus mengucap syukur pada Sang Pencipta. Aku pun begitu,
dengan tangan menengadah keatas, aku menguraikan kata syukur atas hadirnya
malaikat kecilku yang sempurna.
Paginya, aku
terbangun dengan senyum yang sangat lebar. Kicau burung mengisi keheningan pagi
itu dan memberiku ketenangan. Seorang perawat membukakan jendela sembari
membiarkan cahaya matahari masuk ke kamarku.
“Anda sudah
terjaga nyonya?” tanya sang suster dengan ramah. Aku tersenyum kepadanya.
“Bagaimana
keadaan putri kecilku, suster” sang perawat tidak hanya diam. Lalu pintu kamar
rawatku terbuka dan masuklah seorang dokter dan dibeakangnya suamiku dengan
raut wajah. . . terpukul?
“Bagaimana
keadaan putriku?” aku kembali bertanya. Semua orang dalam ruangan itu diam tak
menjawab. Kepanikan menyergap diriku.
“Yah, kalian ini
kenapa sih?” aku bertanya pada suamiku sambil menggoyangkan tangannya. Dia
diam, “apa semua orang tiba-tiba mejadi bisu disini?” lanjutku hampir frustasi,
“atau kah kebahagiaan bisa membuatku menjadi tuli?” suamiku memegang tanganku.
“Tenang, Bun.” aku
memalingkan wajah menahan tangis. Sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk hal
menerima hal buruk.
“Putri anda
didignosa buta permanen.” suara dokter itu menjawab kegelisahanku. Tanganku
terlepas dari geggaman suamiku.
Air mata mulai
mengalir menuruni pipi kiriku. Kebahagiaanku delapan jam yang lalu seakan
menguap seutuhnya. Kata-kata dokter itu berputar-putar mengelilingi ruang
rawatku. Aku tak berani bereaksi. Beum mampu mencerna apapun. Mengapa tiba-tiba
bernafas menjadi sangat menyakitkan? Putriku, malaikatku, gadis yang sangat
sempurna di mataku, tak bisa melihat?
“Anda pasti
salah dokter!” akhirnya aku mampu bersuara. Suamiku yang berdiri di sampingku
menggeleng prihatin sambil mengelus tanganku perlahan. Mungkin dia mencoba
menenangkanku. Tapi aku bisa melihat sinar kesedihan yang mendalam di matanya.
Seorang suster
masuk ke dalam ruang rawatku sambil menggendong seorang bayi dalam peluknya.
Aku menggeliat tak sabar meminta bayiku dari dalam pelukannya. Dia sangat
manis. Tangannya bergerak-gerak meraih pipiku, lalu terseyum lebar sekali.
Tubuhku terisak semakin hebat. Dia masih
sangat kecil, Tuhan. Kenapa gadis semanis dia bisa buta?
Dia tak akan
bisa melihat bunga, dia tak tau kucing itu seperti apa, dia tak akan mengerti
bagaimana bentuk bola, dia tak bisa menentukan warna hitam atau putih atau
ungu, dia tak bisa tau betapa indahnya danau, pelangi, ataupun lumba-lumba yang
berlompatan di laut. Dan yang paling membuat dadaku sesak, dia tak akan tau
wajahku dan suamiku sebagai wajah orang tuanya.
§§§
Aku hampir putus
asa. Semua terasa begiitu lamban.Tuhan,
kenapa harus aku? Kenapa harus Vira Sascha anakku? Aku ingin marah. Kepada
siapa saja, kepada Tuhan terutama. Aku merasa ini sunnguh tidak adil. Aku ingin
protes, kenapa hidup putriku kian menyedihkan? Tapi dukungan orang-orang di
sekitarku, terutama suamiku memberiku harapan. Sascha akan tumbuh meski tak
seperti anak lain. Sascha punya cara sendiri. Harapan itu yang membawaku
berjuang untuk putri yang sangat ku cintai.
Aku mencoba
menjalani setiap detik dalam hidupku senormal mungkin. Mulai dari mengantar
Sascha ke tempat belajarnya ¾ tentu saja
tempat khusus untuk orang-orang buta¾
sampai menjawab rentetan pertanyaan Sascha yang tanpa henti seperti kereta api.
Dia tidak bertanya lewat mulutnya, aku dapat mengertikan sorot matanya sebagai apa itu bun? Atau oh, aku mengerti bun.
Sascha tumbuh
menjadi gadis yang sangat cantik. Wajahnya putih dan selalu tampak berbinar,
rambutnya pirang¾itu warisan
ayahnya¾ dan
bergelombang indah. Kalau dia sedang tertawa, tawanya akan meluruhkan sedih
dalam jiwa setiap insan yang mendengarnya. Setiap orang yang baru bertemu
dengannya pasti tak akan menyangka gadis secantik itu memiliki keterbatasan.
Saat dia
menginjak usia dua tahun, aku bahagia tak terukur. Putriku bisa berbicara. Agak
lambat memang. Saat itu aku sedang mempersiapkan sarapan, saat tiba-tiba dia
datang dalam gendongan ayahnya lalu menyentuh lenganku sambil menggumamkan
sesuatu yang tidak jelas. Tapi aku bisa menangkapnya. Dia mengatakan, ‘bunda.
Kata pertama yang mampu terurai dari bibir manisnya adalah panggilan untukku.
Praktis aku bersujud sambil menangis haru.
§§§
Saat Sascha
berusia lima tahun. Dia sudah bisa berbicara banyak, dia belajar banyak hal
lebih dari yang aku harapkan. Aku masih sering menangis. Dia gadis yang paling
luar biasa yang pernah ku temui. Dia sangat aktif, pintar, kritis dalam segala
hal, peka. Hanya saja satu keterbatasan membuatnya tak bisa mengetahui dunia
itu lebih indah dari yang dia tau. Dunia itu tidak gelap seperti penafsirannya.
Aku melirik jam
perak yang melingkar di tanganku. Pukul Sembilan malam. Sascha sudah tidur satu
setengah jam yang lalu, dan aku sudah duduk di taman dalam diam sejak satu jam
lalu. Menatap berjuta bintang yang berhamburan di langit. Entah mengapa batinku
selalu tenang setiap menatap cahaya kelap-kelip di langit luas yang gelap.
Sascha.
Seandainya dia bisa melihat bintang, pasti sekarang dia sedang duduk di
sampingku sambil menunjuk satu bintang paling terang dan bergumam, “Bunda, ambilkan bintang itu untuk Sascha
ya!” lalu menyeringai lebar kegirangan seperti anak normal lain. Tanpa sadar, air mataku mengalir lagi. Bersamaan
dengan sebuah tepukan di pundakku. Aku menoleh sambil mengusap air mataku
dengan cepat.
“Bun, geser
dong. Ayah mau duduk.” aku menggeser posisis tubuhku.
“Bun, ayah
bahagia dititipi Sascha” dia menggumam. aku menatapnya bingung tapi tak
menyangkal apapun.
“Bunda tahu?
Sebelum melahirkan seorang anak cacat ke dunia, malaikat dan Tuhan mengadakan sidang.”
Aku diam tak menjawab, tapi ayah tahu aku mendengarkan. Lalu dia melanjutkan
lagi, “Tuhan dan malaikat berargumen siapa orang tua yang pantas untuk anak
cacat tersebut. Orang tua yang mampu bersanding dengan anak tersebut. Orang tua
yang mampu menyayangi anak tersebut dengan sepenuh hati, melindunginya dari
bahaya, memberikan apa yang ia butuhkan. Tuhan mempercayai kita, Bun.
“Tuhan yakin
bunda bisa menyayangi Sascha, Tuhan yakin bunda bisa membimbing Sascha,
makannya Tuhan menitipkan Sascha pada bunda, karena Tuhan tahu bunda yang terbaik
untuk Sascha. Bunda yang bisa mengimbangi Sascha.” Aku tersenyum lebar. Satu
tetes air mata bahagia mengalir di pipiku.
Aku menyandarkan
kepalaku di pundak ayah sambil berkata, “Dan Tuhan tau cuma Ayah yang bisa
mendampingi bunda dalam memberikan yang terbaik untuk Sascha.
§§§
Sascha berumur
tujuh tahun sekarang. Dia kemana-mana menggunakan tongkat untuk membantunya
berjalan. Hari ini hari pertamanya di salah satu sekolah khusus setara dengn
SD. Sudah pukul sepuluh, pasti sebentar lagi Sascha pulang di jemput ayahnya.
“Bubun, Sascha
pulang!” teriak malaikat kecilku sambil mengetuk-ketukkan tongkatnya di lantai.
Benar kan.
Aku
menyambutnya.
“Gimana Sascha
sekolahnya? Senang?” tanyaku sambil membantu melepas tasnya.
“Sascha senang,
bun. Teman-teman Sascha banyak, dan semua baik.” Sascha bercerita dengan sangat
ekspresif. “Sascha belajar banyaak sekali hal baru. Oh ya, teman-teman nggak
mau panggil Sascha, maunya manggil Vira. Katanya, Sascha itu susah diucapkan.
Padahal nama Sascha kan bagus.” lalu dia mengakhiri ocehannya dengan tertawa
riang. Aku menatap ayah Sascha sambil tersenyum.
“Bunda?”
panggilnya sambil meraba-raba tanganku.
“Meski aku tak
bisa melihat wajah bunda, tapi aku masih bisa mendengar suara bunda, masih bisa
menyentuh bunda, masih bisa menyerukan nama bunda. Yang paling penting, aku masih
bisa merasakan kasih sayang bunda. Tuhan baik banget kasih aku orang tua sebaik
bunda. Sascha sayang bunda” aku terhenyak. Ku bungkam mulutku dengan tangan
kiri untukk menghalau isakan tangis.
Ku peluk erat
tubuh malaikat kecilku dengan penuh kasih sayang. Tuhan, bahkan umurnya baru
tujuh tahun. Kenapa dia bisa merangkai kata begitu indah. Bukankah dia memiliki
keterbatasan, Tuhan, kenapa tutur katanya begitu rapi? Dia buta, Tuhan. Aku
berbanjir air mata. Begitu bahagia mendapati karunia Tuhan yang tak terhenti.
Sascha. Bunda
tahu kamu tidak bisa melihat. Tapi kamu bisa melihat duniamu lebih dari yang
orang normal bisa lihat. Bunda tahu kamu tidak tahu bagaimana wajah bunda, tapi
bunda tahu hatimu mencetak wajah bunda dengan sangat baik. Bunda tahu matamu
tak bisa melihat. Tapi hati kamu bisa melihat dunia luas dengan sangat baik
melebihi yang orang normal bisa lakukan.
Sascha, terimakasih kamu telah mengajarkan
banyak hal pada bunda. Sascha telah bercerita pada bunda tentang keyakinan. Kini
bunda yakin, akan ada cahaya dalam setiap kegelapan. Dan Sascha yang akan terus
menjadi cahaya buat bunda. Karna Sascha, bintang hati bunda. Terimakasih kau
titipkan Sascha padaku Tuhan. Bukan kepada orang lain
“Bunda juga sayang
Sascha lebih dari yang kamu tahu, nak” ucapku dalam sela-sela tangis haru ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar