Jumat, 16 November 2012

Cahaya Dalam Gelap


Aku tersenyum lebar. Proses persalinanku berjalan dengan lancar. Dengan keringat yang mesih mengucur disekitar pipiku, aku meraih tubuh bayiku yang diulurkan oleh seorang perawat.  Senyumku semakin melebar ketika mendapati tubuh dalam dekapanku ini adalah seorang wanita. Gadis mungil dengan mata bulat hitam, aku mengenali mata itu. Mata itu adalah mataku. Dia mewarisi bagian tubuhku. Dengan perlahan kugenggam tangan mungil gadisku dengan penuh kasih sayang.
Aku menyerahkan malaikat kecilku kepada perawat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Suamiku yang sejak tadi menemani proses persalinanku mengecup keningku berkali-kali sambil terus mengucap syukur pada Sang Pencipta. Aku pun begitu, dengan tangan menengadah keatas, aku menguraikan kata syukur atas hadirnya malaikat kecilku yang sempurna.
Paginya, aku terbangun dengan senyum yang sangat lebar. Kicau burung mengisi keheningan pagi itu dan memberiku ketenangan. Seorang perawat membukakan jendela sembari membiarkan cahaya matahari masuk ke kamarku.
“Anda sudah terjaga nyonya?” tanya sang suster dengan ramah. Aku tersenyum kepadanya.
“Bagaimana keadaan putri kecilku, suster” sang perawat tidak hanya diam. Lalu pintu kamar rawatku terbuka dan masuklah seorang dokter dan dibeakangnya suamiku dengan raut wajah. . . terpukul?
“Bagaimana keadaan putriku?” aku kembali bertanya. Semua orang dalam ruangan itu diam tak menjawab. Kepanikan menyergap diriku.
“Yah, kalian ini kenapa sih?” aku bertanya pada suamiku sambil menggoyangkan tangannya. Dia diam, “apa semua orang tiba-tiba mejadi bisu disini?” lanjutku hampir frustasi, “atau kah kebahagiaan bisa membuatku menjadi tuli?” suamiku memegang tanganku.
“Tenang, Bun.” aku memalingkan wajah menahan tangis. Sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk hal menerima hal buruk.
“Putri anda didignosa buta permanen.” suara dokter itu menjawab kegelisahanku. Tanganku terlepas dari geggaman suamiku.
Air mata mulai mengalir menuruni pipi kiriku. Kebahagiaanku delapan jam yang lalu seakan menguap seutuhnya. Kata-kata dokter itu berputar-putar mengelilingi ruang rawatku. Aku tak berani bereaksi. Beum mampu mencerna apapun. Mengapa tiba-tiba bernafas menjadi sangat menyakitkan? Putriku, malaikatku, gadis yang sangat sempurna di mataku, tak bisa melihat?
“Anda pasti salah dokter!” akhirnya aku mampu bersuara. Suamiku yang berdiri di sampingku menggeleng prihatin sambil mengelus tanganku perlahan. Mungkin dia mencoba menenangkanku. Tapi aku bisa melihat sinar kesedihan yang mendalam di matanya.
Seorang suster masuk ke dalam ruang rawatku sambil menggendong seorang bayi dalam peluknya. Aku menggeliat tak sabar meminta bayiku dari dalam pelukannya. Dia sangat manis. Tangannya bergerak-gerak meraih pipiku, lalu terseyum lebar sekali. Tubuhku terisak semakin hebat. Dia masih sangat kecil, Tuhan. Kenapa gadis semanis dia bisa buta?
Dia tak akan bisa melihat bunga, dia tak tau kucing itu seperti apa, dia tak akan mengerti bagaimana bentuk bola, dia tak bisa menentukan warna hitam atau putih atau ungu, dia tak bisa tau betapa indahnya danau, pelangi, ataupun lumba-lumba yang berlompatan di laut. Dan yang paling membuat dadaku sesak, dia tak akan tau wajahku dan suamiku sebagai wajah orang tuanya.
§§§
Aku hampir putus asa. Semua terasa begiitu lamban.Tuhan, kenapa harus aku? Kenapa harus Vira Sascha anakku? Aku ingin marah. Kepada siapa saja, kepada Tuhan terutama. Aku merasa ini sunnguh tidak adil. Aku ingin protes, kenapa hidup putriku kian menyedihkan? Tapi dukungan orang-orang di sekitarku, terutama suamiku memberiku harapan. Sascha akan tumbuh meski tak seperti anak lain. Sascha punya cara sendiri. Harapan itu yang membawaku berjuang untuk putri yang sangat ku cintai.
Aku mencoba menjalani setiap detik dalam hidupku senormal mungkin. Mulai dari mengantar Sascha ke tempat belajarnya ¾ tentu saja tempat khusus untuk orang-orang buta¾ sampai menjawab rentetan pertanyaan Sascha yang tanpa henti seperti kereta api. Dia tidak bertanya lewat mulutnya, aku dapat mengertikan sorot matanya sebagai apa itu bun? Atau oh, aku mengerti bun.
Sascha tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Wajahnya putih dan selalu tampak berbinar, rambutnya pirang¾itu warisan ayahnya¾ dan bergelombang indah. Kalau dia sedang tertawa, tawanya akan meluruhkan sedih dalam jiwa setiap insan yang mendengarnya. Setiap orang yang baru bertemu dengannya pasti tak akan menyangka gadis secantik itu memiliki keterbatasan.
Saat dia menginjak usia dua tahun, aku bahagia tak terukur. Putriku bisa berbicara. Agak lambat memang. Saat itu aku sedang mempersiapkan sarapan, saat tiba-tiba dia datang dalam gendongan ayahnya lalu menyentuh lenganku sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Tapi aku bisa menangkapnya. Dia mengatakan, ‘bunda. Kata pertama yang mampu terurai dari bibir manisnya adalah panggilan untukku. Praktis aku bersujud sambil menangis haru.
§§§
Saat Sascha berusia lima tahun. Dia sudah bisa berbicara banyak, dia belajar banyak hal lebih dari yang aku harapkan. Aku masih sering menangis. Dia gadis yang paling luar biasa yang pernah ku temui. Dia sangat aktif, pintar, kritis dalam segala hal, peka. Hanya saja satu keterbatasan membuatnya tak bisa mengetahui dunia itu lebih indah dari yang dia tau. Dunia itu tidak gelap seperti penafsirannya.
Aku melirik jam perak yang melingkar di tanganku. Pukul Sembilan malam. Sascha sudah tidur satu setengah jam yang lalu, dan aku sudah duduk di taman dalam diam sejak satu jam lalu. Menatap berjuta bintang yang berhamburan di langit. Entah mengapa batinku selalu tenang setiap menatap cahaya kelap-kelip di langit luas yang gelap.
Sascha. Seandainya dia bisa melihat bintang, pasti sekarang dia sedang duduk di sampingku sambil menunjuk satu bintang paling terang dan bergumam, “Bunda, ambilkan bintang itu untuk Sascha ya!” lalu menyeringai lebar kegirangan seperti anak normal lain. Tanpa sadar, air mataku mengalir lagi. Bersamaan dengan sebuah tepukan di pundakku. Aku menoleh sambil mengusap air mataku dengan cepat.
“Bun, geser dong. Ayah mau duduk.” aku menggeser posisis tubuhku.
“Bun, ayah bahagia dititipi Sascha” dia menggumam. aku menatapnya bingung tapi tak menyangkal apapun.
“Bunda tahu? Sebelum melahirkan seorang anak cacat ke dunia, malaikat dan Tuhan mengadakan sidang.” Aku diam tak menjawab, tapi ayah tahu aku mendengarkan. Lalu dia melanjutkan lagi, “Tuhan dan malaikat berargumen siapa orang tua yang pantas untuk anak cacat tersebut. Orang tua yang mampu bersanding dengan anak tersebut. Orang tua yang mampu menyayangi anak tersebut dengan sepenuh hati, melindunginya dari bahaya, memberikan apa yang ia butuhkan. Tuhan mempercayai kita, Bun.
“Tuhan yakin bunda bisa menyayangi Sascha, Tuhan yakin bunda bisa membimbing Sascha, makannya Tuhan menitipkan Sascha pada bunda, karena Tuhan tahu bunda yang terbaik untuk Sascha. Bunda yang bisa mengimbangi Sascha.” Aku tersenyum lebar. Satu tetes air mata bahagia mengalir di pipiku.
Aku menyandarkan kepalaku di pundak ayah sambil berkata, “Dan Tuhan tau cuma Ayah yang bisa mendampingi bunda dalam memberikan yang terbaik untuk Sascha.
§§§
Sascha berumur tujuh tahun sekarang. Dia kemana-mana menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Hari ini hari pertamanya di salah satu sekolah khusus setara dengn SD. Sudah pukul sepuluh, pasti sebentar lagi Sascha pulang di jemput ayahnya.
“Bubun, Sascha pulang!” teriak malaikat kecilku sambil mengetuk-ketukkan tongkatnya di lantai. Benar kan.
Aku menyambutnya.
“Gimana Sascha sekolahnya? Senang?” tanyaku sambil membantu melepas tasnya.
“Sascha senang, bun. Teman-teman Sascha banyak, dan semua baik.” Sascha bercerita dengan sangat ekspresif. “Sascha belajar banyaak sekali hal baru. Oh ya, teman-teman nggak mau panggil Sascha, maunya manggil Vira. Katanya, Sascha itu susah diucapkan. Padahal nama Sascha kan bagus.” lalu dia mengakhiri ocehannya dengan tertawa riang. Aku menatap ayah Sascha sambil tersenyum.
“Bunda?” panggilnya sambil meraba-raba tanganku.
“Meski aku tak bisa melihat wajah bunda, tapi aku masih bisa mendengar suara bunda, masih bisa menyentuh bunda, masih bisa menyerukan nama bunda. Yang paling penting, aku masih bisa merasakan kasih sayang bunda. Tuhan baik banget kasih aku orang tua sebaik bunda. Sascha sayang bunda” aku terhenyak. Ku bungkam mulutku dengan tangan kiri untukk menghalau isakan tangis.
Ku peluk erat tubuh malaikat kecilku dengan penuh kasih sayang. Tuhan, bahkan umurnya baru tujuh tahun. Kenapa dia bisa merangkai kata begitu indah. Bukankah dia memiliki keterbatasan, Tuhan, kenapa tutur katanya begitu rapi? Dia buta, Tuhan. Aku berbanjir air mata. Begitu bahagia mendapati karunia Tuhan yang tak terhenti.
Sascha. Bunda tahu kamu tidak bisa melihat. Tapi kamu bisa melihat duniamu lebih dari yang orang normal bisa lihat. Bunda tahu kamu tidak tahu bagaimana wajah bunda, tapi bunda tahu hatimu mencetak wajah bunda dengan sangat baik. Bunda tahu matamu tak bisa melihat. Tapi hati kamu bisa melihat dunia luas dengan sangat baik melebihi yang orang normal bisa lakukan.
 Sascha, terimakasih kamu telah mengajarkan banyak hal pada bunda. Sascha telah bercerita pada bunda tentang keyakinan. Kini bunda yakin, akan ada cahaya dalam setiap kegelapan. Dan Sascha yang akan terus menjadi cahaya buat bunda. Karna Sascha, bintang hati bunda. Terimakasih kau titipkan Sascha padaku Tuhan. Bukan kepada orang lain
“Bunda juga sayang Sascha lebih dari yang kamu tahu, nak” ucapku dalam sela-sela tangis haru ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar